Alhamdulillah....
Ujian akhir semester 6 udah selesai. Lega rasanya. semoga hasilnya memuaskan.Amiinn :)
Hari ini adalah hari terakhirku ujian, sebagian dari teman-temanku ada yang pulang kampung. Pengen juga rasanya. Tapi ada juga sebagian temanku yang tidak bisa pulang karena harus PPL termasuk aku. Sabar dan Semangat Ya teman-teman..
o..iya... Aku lupa.Sebentar lagikan bulan Ramadhan..
Mohon maaf lahir dan batin ya teman-temanku semua..:) :) :)
Jumat, 05 Juli 2013
Jumat, 28 Juni 2013
Kesal
Semester 7 adalah masa PPL mahasiswa Fakultas FKIP.
Sebab itulah aku tidak bisa pulang kampung, aku harus mengurus persiapan-persiapan untuk PPLku.
aku kira mulai prakteknya setelah lebaran, dan aku bisa pulkam. E ternyata dugaanku salah. prakteknya mulai tahun ajaran baru. tahun ajaran baru itu pas waktu awal puasa.
HUUHH,,,
Sedih rasanya tidak bisa pulang, semantara teman-temanku sudah pulang semua..
tapi aku harus jalani ini dengan senang hati. karena pekarjaan yang dikerjakan dengan hati akan menimbulkan hasil yang baik, kata mak woku. hehehee
Sebab itulah aku tidak bisa pulang kampung, aku harus mengurus persiapan-persiapan untuk PPLku.
aku kira mulai prakteknya setelah lebaran, dan aku bisa pulkam. E ternyata dugaanku salah. prakteknya mulai tahun ajaran baru. tahun ajaran baru itu pas waktu awal puasa.
HUUHH,,,
Sedih rasanya tidak bisa pulang, semantara teman-temanku sudah pulang semua..
tapi aku harus jalani ini dengan senang hati. karena pekarjaan yang dikerjakan dengan hati akan menimbulkan hasil yang baik, kata mak woku. hehehee
Kamis, 04 April 2013
SEMANTIK
NAMA
: N I NA
NPM
: 106210025
TUGAS
: SEMANTIK
1.
PENGERTIAN
MAKNA LEKSIKAL
Menurut Chaer (2009:60) leksikal
adalah bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabuler,
kosa kata, perbendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu
satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon disamakan kosakata atau
perbendaharaan kata, maka leksem dapat disamakan dengan kata.
Menurut Djajasudarma (2009:54) terdapat macam-macam
hubungan makna, seperti sinonimi, polisemi, homonimi, hiponimi dan antonimi.
1.
Sinonimi adalah kesamaan makna antara dua kata atau
lebih.
Contoh : kata mati bersinonim
dengan meninggal
2.
Antonimi adalah nama lain untuk benda lain. Bisa berupa
kata atau frase. (Chaer,2009:88).
Contoh: kata bagus berantonim
dengan kata buruk
3.
Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa( kata
atau frasa) yang memiliki makna lebih dari satu (Chaer, 2009:101).
Contoh : kata bisa bermakna
dapat (sanggup)
Kata bisa
bermakna racun
4.
Homonimi adalah nama sama untuk benda atau hal lain. (chaer,
2009:94)
Contoh: kata bandar yang
bermakna pelabuhan
Kata bandar yang bermakna parit
5.
Hiponimi adalah hubungan makna yang mengandung pengertian
hierarki (Djajasudarma,2009:71).
Contoh: kata ikan termasuk
tongkol, bandeng, tenggiri, teri, mujair dan sebagainya.
2.
PENGERTIAN
MAKNA GRAMATIKAL
Makna sebuah kata, baik kata dasar maupun kata
jadian, sering sangat tergantung pada konteks kalimat atau konteks situasi maka
makna gramtikal ini sering juga disebut makna kontekstual atau makna
situasional. Selain itu bisa juga disebut makna struktural karena proses dan
satuan-satuan gramatikal itu selalu berkenaan dengan struktur ketatabahasaan.
Makna gramatikal itu bermacam-macam. Setiap bahasa mempunyai sarana atau alat
gramatikal tertentu untuk menyatakan makna-makna, atau nuansa-nuansa makna
gramatikal itu.Untuk menyatakan makna 'jamak' bahasa indonesia menggunakan
proses reduplikasi seperti kata buku yang bermakna 'sebuah buku',
(Chaer,2009:62).
Menurut
Kridalaksana,(2010:75) Gramatikal adalah diterima oleh bahasawan sebagai bentuk
atau susunan yang mungkin ada dalam bahasa; sesuai dengan kaidah-kaidah
gramatika suatu bahasa; bersangkutan dengan gramatika suatu
Makna gramatikal akan ada jika terjadi proses
gramatikal (afiksasi, reduplikasi, komposisi, kalimatisasi). Misalnya, dalam
proses afiksasi sepatu melahirkan makna gramatiakal " mengenakan atau
memakai sepatu ", (Faizah,2008:70)
3. PENGERTIAN MAKNA KONTEKSTUAL
Makna kontekstual muncul sebagai akibat hubungan antara ujaran dengan
situasi (konteks). Konteks yang dimaksud
yaitu: konrteks orangan, konteks situasi, konteks tujuan, konteks
formal/tidaknya pembicaraan, konteks suasana hati pembicara/pendengar, konteks
waktu, konteks tempat, konteks objek, konteks alat kelengkapan bicara/dengar
pada pembicara/pendengar, konteks kebahasaan, dan konteks bahasa (Pateda,
2010:116).
4. GAYA BAHASA
Gaya bahasa adalah pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis; pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu (Kridalaksana,2010:70).
Menurut Tarigan (2008:172-177) menyebutkan gaya bahasa diantaranya yaitu:
1. Ironi
Secara umum, ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya (Stanton,2007:71).
Ironi adalah sejenis gaya bahasa yang mengemukakan suatu hal dengan makna yang berlainan, merupakan suatu kualitas dalam setiap pernyataan atau situasi yang muncul dari kenyataan bahwa sesuatu yang wajar, yang diharapkan tidak disebut atau dilaksanakan, tetapi diganti dengan kebalikannya. Ironi diperoleh dengan jalan ketidakpantasan, keanehan: sepasang yang berlawanan, salah satu diantaranya mungkin menyembunyikan atau pun mengungkapkan kebenaran yang nyata. Misalnya, kepada teman yang malas: "Rajin benar ya?" dan kepada yang bodoh: "Aduh, pintarnya!".
2. Paradoks
Paradoks adalah suatu gaya bahasa pertentangan.
Contoh gula terasa pahit bagi saya.
3. Simbolisme
Penggunaan simbol atau lambang tidak hanya terbatas pada sastra. Simbol memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya merah dihubungkan dengan amarah, panas.
4. Metafora
Pada prinsipnya metafora merupakan sejenis analogi, suatu komparasi terhadap dua hal yang dalam beberapa segi mengandung persamaan.
Contoh: Rambutnya bak mayang terurai.
Dalam gaya bahasa Metafora juga disebut :
1. Personifikasi merupakan sarana bahasa yang memperlakukan objek-objek yang mati ataupun yang bukan manusia sebagai yang hidup atau yang bersifat manusia. Contoh: Angin sepoi mengelus pipinya yang lembut.
2. Sinekdohe merupakan sejenis metafora : sebagian menyatakan keseluruhan, atau keseluruhan menyatakan sebagian. Contoh: Kerlingan matanya membuat daku terpaku.
3. Metonimia, sejenis metafora suatu sifat khusus dipergunakan sebagai pengganti sesuatu obyek atau sesuatu profesi. Contoh Dia hidup dari bedil. (Bedil dipergunakan sebagai pengganti profesi militer).
Pradopo (2010:62-78) jenis-jenis bahasa kiasan:
1. Perbandingan
Perbandingan atau perumpamaan atau simile, ialah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, sepantun dan lain-lain. Contoh: Dia bagaikan pinang dibelah dua.
2. Metafora
Metafora ini menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama (Altenbernd,1970:15). Contoh Bumi ini perempuan jalang
3. Perumpamaan Epos
Perumpamaan atau perbandingan epos (epic simile) ialah perbandingan yang dilanjutkan, atau diperpanjang, yaitu dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat pembandingan lebih lanjut dalam kalimat-kalimat atau frase-frase yag berturut-turut.
Contoh:dalam puisi yang berjudul Di Tengah Sunyi karya Rustam Effendi:
Di tengah sunyi menderu rinduku,
Seperti topan, meranggutkan dahan,
mencabutkan akar, meranggutkan kembang kalbuku.
4. Allegori
Allegori ialah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan atau lukisan kiasan ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain.
5.Personifikasi
Kiasan ini mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berfikir dan sebagainya seperti manusia.
Contoh dalam puisi yang berjudul Anak Molek V karya Rustam Effendi:
Malas dan malu nyala pelita.
6. Metonimia
Metonimi dalam bahasa indonesia sering disebut kiasan pengganti nama.
7. Sinekdoki
Sinekdoki adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda (hal) itu sendiri.
Sumber:
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Djajasudarma,
Fatimah. 2009. Semantik 1: Makna Leksikal
dan Gramatikal. Bandung: Refika Aditama
Kridalaksana, Harimurti. 2010. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.
Kridalaksana, Harimurti. 2010. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.
Pateda,
Mansoer. 2010. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.
Tarigan, Hendry Guntur. 1982. Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa
Tarigan, Hendry Guntur. 1982. Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa
Pradopo,
Rachmat Djoko. 2010. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Selasa, 19 Maret 2013
Cerpen Samsul
CERPENKU YG TERBIT DI RIAU POS; 13 JANUARI 2013
oleh Samsul Poenya (Catatan) pada 14 Januari 2013 pukul 7:11
PATAH TAPI TAK LAYU
Hidupku tak ubahnya sebatang pohon trembesi yang bercokol di pinggir jalan raya. Meneduhkan langkah orang-orang yang melewatinya. Menebarkan sejuk lewat rindang daunnya. Hingga membarterkan oksigen dengan karbondioksida yang diciptakan manusia. Namun sebenarnya, ia adalah makhluk yang rapuh. Dahannya mudah patah. Jika hujan terus mengguyurnya dan angin menamparnya, dapat dipastikan dahannya akan patah. Tapi, karena stomatanya yang istimewa, mampu membuat dahannya yang patah bertahan hidup. Tidak layu.
Kehidupanku juga begitu. Penuh dengan masalah, masalah dan masalah. Apalagi sejak Ayahku pergi—entah kemana. Hidupku tak ubahnya labirin. Jika dimasuki masalah, butuh waktu lama untuk membuatnya keluar. Namun, sebesar apapun masalah yang menghampiriku selalu saja ada jalan yang membuat semangatku tidak layu.
Aku tinggal bersama Ibuku dalam sebuah tempat yang sebenarnya tak layak diakatakan rumah. Bentuknya mirip gubuk. Tidak! Mungkin lebih mirip gudang. Bukan juga! Sepertinya lebih tepat dikatakan kandang. Ya, kandang. Sebab, kami berbagi tempat tidur dengan tikus, kecoa dan makhluk menjijikkan lainnya. Atapnya hanya menggunakan seng bekas yang sudah bolong sana-sini. Dindingnya dibalut rajutan bambu yang sudah berusia puluhan tahun. Pintunya? Inilah alasan yang tepat kenapa tempat tinggalku lebih layak dikatakan kandang. Pintunya tidak berwujud. Jika aku dan Ibuku ingin masuk atau keluar, kami mengangkat bagian bawah kandang tersebut. Lalu keluar melewati celah yang terbuka. Ironis? Ya, itulah kehidupanku. Kehidupan yang membuatku kebal dengan penderitaan.
Ada satu impian yang ingin aku wujudkan. Membahagiakan Ibuku. Tentu saja. Siapa yang tak ingin membuat ibunya bahagia. Semua anak di dunia ini juga berpikir hal yang sama. Tapi mereka yang beruntung dengan mudah membahagiakan ibunya. Salah satu caranya adalah belajar dengan rajin. Menciptakan prestasi yang dapat membanggakan mereka. Merantau ke negeri seberang, mengumpulkan uang, lalu mengirimkan pada ibunya di kampung. Menikah dengan perempuan sholeha. Tapi aku? Membahagiakan Ibuku tak ubahnya mencari jarum di dasar Samudera Artik.
***
Malam kini tengah merebahkan wujudnya di kota Pekanbaru. Dihiasi dengan ribuan bintang yang berlomba menampakkan diri. Rembulan tak mau kalah. Ia berdiri setengah badan. Sehingga tampak lengkungan indah di perut-nya. Aku tengah sibuk mempersiapkan alat-alatku untuk mengumpulkan uang dari tangan-tangan iba. Berbekal sebuah gitar, kutelusuri jalan yang penuh cahaya dari makhluk Tuhan yang tak tega menyaksikan penderitaanku. Rumah makan demi rumah makan aku datangi. Menyanyikan lagu dengan diiringi gitarku yang tak tahu nada. Bunyinya mirip gesekan seng yang diakibatkan angin. Berisik dan mengusik. Tapi itulah yang bisa kulakukan jika malam tiba. Kalau siang datang, lain lagi yang kulakukan untuk mendapatkan uang.
Kadang tak jarang aku hanya mendapatkan ucapan terima kasih. Padahal aku tak meminta banyak. Seratus rupiah pun tak mengapa. Tapi itulah manusia. Jika mereka berkecukupan enggan berbagi. Mereka lupa bahwa sebagian harta yang mereka miliki ada hak orang-orang sepertiku. Apalagi aku tak meminta dengan cuma-cuma. Aku memberikan mereka hiburan. Walaupun sebenarnya kedatanganku malah menggangu mereka. Tapi niatku baik. Memberikan hiburan sekaligus mencari makan.
“Sini Dek!” seorang perempuan yang duduk di sebuah rumah makan memanggilku.
“Ya Kak. Ada apa ya?”
“Ini untukmu. Ambillah!”
Perempuan itu memasukkan uang ke dalam kaleng yang telah kusiapkan dari rumah. Jumlahnya aku tak tahu. Sebab uang itu digenggamnya, dan tangannya ikut masuk dalam kaleng itu.
“Terima Kasih Kak.”
Ia berlalu meninggalkanku dengan senyum yang masih tertahan di wajahnya. Aku kembali berjalan. Menyanyi. Bahkan hanya sekedar memetik senar gitar ketika respon orang-orang yang kudatangi tidak bersahabat. Malam semakin larut. Tak ada lagi orang yang mau berbagi rezeki denganku. Tampaknya hanya perempuan tadi yang berbaik hati padaku malam ini.
***
Ketika sampai di rumah—berat hatiku mengatakan rumah—Ibuku duduk dengan wajah yang tertunduk ke bawah. Entah apa yang ia pikirkan. Aku mencoba mendekat.
“Kenapa Ibu belum tidur? Ini kan sudah larut malam.”
“Entahlah Nak. Ibu ingat Bapakmu.”
“Sudahlah Bu. Tak usah pikirkan Bapak. Ia tak mencintai kita. Bukankah Ibu selalu bilang kalau Bapak itu manusia yang paling jahat. Ia meninggalkan kita karena tak sanggup menanggung beban sebagai kepala keluarga. Dan pergi mencari kebahagiaan lain di luar sana. Apa Ibu lupa?”
“Iya. Tapi sampai kapan pun kamu tetap anaknya. Darah dagingnya.”
“Sudahlah Bu. Arbi istirahat dulu. Lupakan Bapak. Jangan buat Ibu lebih sakit lagi hanya karena laki-laki tak bertanggung jawab itu.”
Aku melihat air matanya mengalir deras melewati sisi bibirnya. Mungkin perasaannya hancur saat aku melontarkan kata yang teramat kasar. Tapi aku tak ingin Ibuku bertambah sakit. Cukup sudah ia menderita lahiriah. Jangan sampai batinnya ikut menderita.
Aku tak ingin lagi berdebat. Perlahan kutinggalkan Ibu yang sedang menangis. Aku tak kuasa melihatnya terus bersedih. Ketika di dalam rumah, kubuka kaleng yang berisi uang hasil menyanyi-ku malam ini. Kutemukan selembar uang dua puluh ribu rupiah. Betapa senangnya perasaanku. Biasanya untuk mendapatkan uang sebanyak ini aku harus mengumpulnya dari dua puluh orang. Tapi ini hanya satu orang. Kubalikkan kaleng itu dengan harapan ada lembaran uang lain yang tersisa di dalamnya. Namun, tanganku gemetar. Dadaku berdebar. Mataku berbinar. Ketika tanganku memegang sebuah benda kuning yang berbentuk lingkaran sebesar ibu jari. “Inikan cincin. Kenapa bisa ada dalam kaleng ini?” batinku. “Perempuan itu? Ya, mungkin ini cincin milik perempuan itu.” Kuperhatikan tiap lekuk cincin itu. Ada sebuah tulisan yang mungkin ada hubungannya dengan perempuan itu. “Marni”. Itulah tulisan yang kulihat di cincin itu.
“Ibu… Ibu….” suaraku membangunkan kecoa yang sengaja menumpang istirahat di rumah-ku.
“Kenapa Nak? Tengah malam begini teriak-teriak.”
“Arbi menemukan ini dalam kaleng tempat mengumpul uang hasil ngamen Bu,” kataku sambil memperlihatkan cincin itu pada Ibuku.
“Ini cincin emas Nak. Bagaimana bisa cincin ini ada dalam kaleng itu?”
“Tadi, ada seorang perempuan yang memberikan uang pada Arbi. Mungkin cincin ini lepas ketika ia memasukkan uang itu ke dalam keleng.”
“Kamu harus kembalikan cincin ini pada pemiliknya. Kita tidak berhak memegang benda ini.”
“Tapi Bu….”
“Sudah. Besok pagi kamu harus cari pemilik cincin ini.”
Aku bukannya tidak mau mengembalikan cincin ini. Tapi pada siapa harus kukembalikan. Di mana perempuan itu bisa aku temukan. Memang wajahnya masih segar diingatanku. Tapi bagaimana mungkin aku bisa mencarinya di tengah kota besar seperti ini. “Mudah-mudahan niat baik ini dilancarkan Allah,” batinku.
***
Pagi ini, aku memulai aktifitas seperti biasa. Berbekal tongkat besi yang bengkok di ujungnya, serta sebuah kantong plastik jumbo, kutelusuri jalan di kota Pekanbaru. Namun, pagi ini aku punya pekerjaan tambahan. Yaitu mencari perempuan pemilik cincin itu. Awalnya aku mendatangi tempat ketika pertama kali bertemu dengannya. Tapi nihil. Ia tak ada di situ. Kucoba bertanya tentang perempuan itu. Namun jawaban yang kudapatkan tidak memuaskan. Sebab aku hanya mengandalkan nama yang ada di cincin itu. Apalagi nama “Marni” sangat banyak. Tidak mungkin nama bisa kujadikan petunjuk.
Tiba-tiba, tak jauh di depanku, ada seorang perempuan yang sepertinya adalah perempuan yang memberikanku uang tadi malam. Perlahan aku menghampirinya. Kuberanikan diri untuk menyapanya.
“Maaf kak, apa benar nama kakak ini Marni?”
Perempuan itu berbalik badan dan menatapku heran.
“Bukan Dek. Memangnya kenapa?”
“Tidak ada apa-apa kak. Maaf mengganggu.”
Kembali kulanjutkan perjalanan. Menyusuri jalan tanpa arah dan tujuan. Bahkan aku lupa bahwa tujuanku bukan hanya untuk mencari pemilik cincin ini tapi juga mencari barang-barang bekas untuk menukarkannya dengan lembaran uang yang tidak seberapa.
Tak kuhiraukan lagi peluhku yang meleleh membasahi tubuh ringkihku. Aku terus berjalan dan berjalan. Hingga pada akhirnya aku berhenti di sebuah rumah yang megah. Pekarangan yang luas. Penuh tanaman-tanaman yang mahal. Belum lama aku istirahat di sana, pagar rumah itu terbuka. Sebuah mobil mewah keluar dari rumah itu. Mataku tertuju pada seorang perempuan yang ada di dalam mobil. Aku merasa perempuan itu tak asing. Seolah pernah melihatnya. Bahkan sering. Tiba-tiba ingatanku kembali pada perempuan pemilik cincin ini. Ya, itu dia perempuan yang kucari. Pemilik cincin ini. Aku berusaha memanggilnya. Berteriak sekeras mungkin. Tapi, kecepatan mobilnya membuat suaraku tak ubahnya bisikan semut. Sama sekali tak bisa didengarnya.
Aku berusaha mengejarnya, tapi sia-sia. Ia tak terlihat lagi. Hilang ditelan tikungan yang tajam. Aku mencoba kembali ke rumah itu. Kupanggil dengan suara keras. Berharap ada orang di dalam. Mungkin suaminya, anak-anaknya, atau pembantunya. Siapapun itu, aku hanya ingin memastikan apa yang kulihat adalah pemilik cincin ini. Lalu mengembalikan pada pemiliknya. Walaupun harus dengan perantara orang-orang yang mengenalnya.
Berkali-kali aku memanggil. Namun tak ada satu pun yang keluar. “Mungkin ia hanya tinggal sendiri di rumah ini. Nanti malam saja aku kembali ke sini lagi,” gumamku.
***
“Cincin ini belum bisa Arbi kembalikan Bu. Tapi Arbi sudah tahu rumah pemiliknya. Pemiliknya orang kaya. Rumahnya saja seperti istana. Semoga saja setelah Arbi kembalikan cincin ini, ia mau mengajak kita tinggal di rumahnya,” kataku pada Ibu yang tak kuasa menahan batuk.
“Husst… kamu ini. Kalau melakukan kebaikan itu jangan mengharapkan balasan. Itu namanya tidak ikhlas. Kalau kita ikhlas Allah akan membalasnya berlipat ganda.”
“Arbi hanya bercanda Bu. Ya sudah, Arbi siap-siap dulu. Sebentar lagi Arbi akan ke rumah pemilik cincin ini.”
***
Malam kembali datang. Ia datang membawa kesejukan yang dihembuskan angin. Aku telah siap untuk mendatangi rumah pemilik cincin ini. Malam ini aku sengaja tidak “bekerja”. Sebab mengembalikan cincin ini jauh lebih penting daripada sesuap nasi. Kira-kira begitulah pesan Ibuku.
Tepat di depan rumah mewah itu, aku berdiri. Kukumpulkan semua keberanian. Niatku baik, bahkan sangat baik. Tapi rasa takutku lebih seperti orang yang ingin maling ayam. Entah kenapa bisa begini. Belum lama aku berdiri, bahkan belum sempat memanggil, perempuan itu keluar dari rumah. Ia menyapaku ramah. Tanpa basa-basi, kujelaskan maksud kedatanganku. Tampak jelas kegembiraan terpancar dari wajahnya. Apalagi saat ia melihat cincinnya yang hilang itu. Tak lama kemudian, seorang laki-laki yang tak asing bagiku keluar dari dalam rumah. Ia menatapku tajam. Aku terbelalak, saat melihat jelas wajahnya. Ia adalah laki-laki yang meninggalkan aku dan Ibuku membusuk di kandang itu. Ia Ayahku. Tak mungkin. Ini tak mungkin. Aku berusaha tenang. Tapi ia seolah tak mengenalku. Mungkin ia malu, atau memang sudah lupa. Tanpa pikir panjang lagi, aku segera berlari, meninggalkan rumah itu. Bahkan perempuan itu belum sempat mengucapkan terima kasih.
Apa yang aku saksikan itu, membuat semangat hidupku patah. Apa yang aku lihat, tak ingin kuceritakan pada Ibuku. Aku tak ingin ia lebih menderita lagi. Jika tahu laki-laki yang masih ada ikatan perkawinan dengannya itu kini telah hidup penuh kemewahan. Entah bagaimana ia bisa menjadi kaya. Tapi yang jelas, rahasia ini akan kusimpan. Kututup rapat-rapat dalam bingkai kekecewaan. Namun, ini tak akan membuat keinginanku layu. Ya, keinginan untuk membahagiakan Ibuku. Aku yakin suatu saat nanti, tanpa Ayah, aku bisa membahagiakan Ibuku. Itu janjiku.
***
Nama penulis adalah Samsul, mahasiswa jurusan bahasa Indonesia, Universitas Islam Riau. Masih tertatah menapaki bukit aksara.
Hidupku tak ubahnya sebatang pohon trembesi yang bercokol di pinggir jalan raya. Meneduhkan langkah orang-orang yang melewatinya. Menebarkan sejuk lewat rindang daunnya. Hingga membarterkan oksigen dengan karbondioksida yang diciptakan manusia. Namun sebenarnya, ia adalah makhluk yang rapuh. Dahannya mudah patah. Jika hujan terus mengguyurnya dan angin menamparnya, dapat dipastikan dahannya akan patah. Tapi, karena stomatanya yang istimewa, mampu membuat dahannya yang patah bertahan hidup. Tidak layu.
Kehidupanku juga begitu. Penuh dengan masalah, masalah dan masalah. Apalagi sejak Ayahku pergi—entah kemana. Hidupku tak ubahnya labirin. Jika dimasuki masalah, butuh waktu lama untuk membuatnya keluar. Namun, sebesar apapun masalah yang menghampiriku selalu saja ada jalan yang membuat semangatku tidak layu.
Aku tinggal bersama Ibuku dalam sebuah tempat yang sebenarnya tak layak diakatakan rumah. Bentuknya mirip gubuk. Tidak! Mungkin lebih mirip gudang. Bukan juga! Sepertinya lebih tepat dikatakan kandang. Ya, kandang. Sebab, kami berbagi tempat tidur dengan tikus, kecoa dan makhluk menjijikkan lainnya. Atapnya hanya menggunakan seng bekas yang sudah bolong sana-sini. Dindingnya dibalut rajutan bambu yang sudah berusia puluhan tahun. Pintunya? Inilah alasan yang tepat kenapa tempat tinggalku lebih layak dikatakan kandang. Pintunya tidak berwujud. Jika aku dan Ibuku ingin masuk atau keluar, kami mengangkat bagian bawah kandang tersebut. Lalu keluar melewati celah yang terbuka. Ironis? Ya, itulah kehidupanku. Kehidupan yang membuatku kebal dengan penderitaan.
Ada satu impian yang ingin aku wujudkan. Membahagiakan Ibuku. Tentu saja. Siapa yang tak ingin membuat ibunya bahagia. Semua anak di dunia ini juga berpikir hal yang sama. Tapi mereka yang beruntung dengan mudah membahagiakan ibunya. Salah satu caranya adalah belajar dengan rajin. Menciptakan prestasi yang dapat membanggakan mereka. Merantau ke negeri seberang, mengumpulkan uang, lalu mengirimkan pada ibunya di kampung. Menikah dengan perempuan sholeha. Tapi aku? Membahagiakan Ibuku tak ubahnya mencari jarum di dasar Samudera Artik.
***
Malam kini tengah merebahkan wujudnya di kota Pekanbaru. Dihiasi dengan ribuan bintang yang berlomba menampakkan diri. Rembulan tak mau kalah. Ia berdiri setengah badan. Sehingga tampak lengkungan indah di perut-nya. Aku tengah sibuk mempersiapkan alat-alatku untuk mengumpulkan uang dari tangan-tangan iba. Berbekal sebuah gitar, kutelusuri jalan yang penuh cahaya dari makhluk Tuhan yang tak tega menyaksikan penderitaanku. Rumah makan demi rumah makan aku datangi. Menyanyikan lagu dengan diiringi gitarku yang tak tahu nada. Bunyinya mirip gesekan seng yang diakibatkan angin. Berisik dan mengusik. Tapi itulah yang bisa kulakukan jika malam tiba. Kalau siang datang, lain lagi yang kulakukan untuk mendapatkan uang.
Kadang tak jarang aku hanya mendapatkan ucapan terima kasih. Padahal aku tak meminta banyak. Seratus rupiah pun tak mengapa. Tapi itulah manusia. Jika mereka berkecukupan enggan berbagi. Mereka lupa bahwa sebagian harta yang mereka miliki ada hak orang-orang sepertiku. Apalagi aku tak meminta dengan cuma-cuma. Aku memberikan mereka hiburan. Walaupun sebenarnya kedatanganku malah menggangu mereka. Tapi niatku baik. Memberikan hiburan sekaligus mencari makan.
“Sini Dek!” seorang perempuan yang duduk di sebuah rumah makan memanggilku.
“Ya Kak. Ada apa ya?”
“Ini untukmu. Ambillah!”
Perempuan itu memasukkan uang ke dalam kaleng yang telah kusiapkan dari rumah. Jumlahnya aku tak tahu. Sebab uang itu digenggamnya, dan tangannya ikut masuk dalam kaleng itu.
“Terima Kasih Kak.”
Ia berlalu meninggalkanku dengan senyum yang masih tertahan di wajahnya. Aku kembali berjalan. Menyanyi. Bahkan hanya sekedar memetik senar gitar ketika respon orang-orang yang kudatangi tidak bersahabat. Malam semakin larut. Tak ada lagi orang yang mau berbagi rezeki denganku. Tampaknya hanya perempuan tadi yang berbaik hati padaku malam ini.
***
Ketika sampai di rumah—berat hatiku mengatakan rumah—Ibuku duduk dengan wajah yang tertunduk ke bawah. Entah apa yang ia pikirkan. Aku mencoba mendekat.
“Kenapa Ibu belum tidur? Ini kan sudah larut malam.”
“Entahlah Nak. Ibu ingat Bapakmu.”
“Sudahlah Bu. Tak usah pikirkan Bapak. Ia tak mencintai kita. Bukankah Ibu selalu bilang kalau Bapak itu manusia yang paling jahat. Ia meninggalkan kita karena tak sanggup menanggung beban sebagai kepala keluarga. Dan pergi mencari kebahagiaan lain di luar sana. Apa Ibu lupa?”
“Iya. Tapi sampai kapan pun kamu tetap anaknya. Darah dagingnya.”
“Sudahlah Bu. Arbi istirahat dulu. Lupakan Bapak. Jangan buat Ibu lebih sakit lagi hanya karena laki-laki tak bertanggung jawab itu.”
Aku melihat air matanya mengalir deras melewati sisi bibirnya. Mungkin perasaannya hancur saat aku melontarkan kata yang teramat kasar. Tapi aku tak ingin Ibuku bertambah sakit. Cukup sudah ia menderita lahiriah. Jangan sampai batinnya ikut menderita.
Aku tak ingin lagi berdebat. Perlahan kutinggalkan Ibu yang sedang menangis. Aku tak kuasa melihatnya terus bersedih. Ketika di dalam rumah, kubuka kaleng yang berisi uang hasil menyanyi-ku malam ini. Kutemukan selembar uang dua puluh ribu rupiah. Betapa senangnya perasaanku. Biasanya untuk mendapatkan uang sebanyak ini aku harus mengumpulnya dari dua puluh orang. Tapi ini hanya satu orang. Kubalikkan kaleng itu dengan harapan ada lembaran uang lain yang tersisa di dalamnya. Namun, tanganku gemetar. Dadaku berdebar. Mataku berbinar. Ketika tanganku memegang sebuah benda kuning yang berbentuk lingkaran sebesar ibu jari. “Inikan cincin. Kenapa bisa ada dalam kaleng ini?” batinku. “Perempuan itu? Ya, mungkin ini cincin milik perempuan itu.” Kuperhatikan tiap lekuk cincin itu. Ada sebuah tulisan yang mungkin ada hubungannya dengan perempuan itu. “Marni”. Itulah tulisan yang kulihat di cincin itu.
“Ibu… Ibu….” suaraku membangunkan kecoa yang sengaja menumpang istirahat di rumah-ku.
“Kenapa Nak? Tengah malam begini teriak-teriak.”
“Arbi menemukan ini dalam kaleng tempat mengumpul uang hasil ngamen Bu,” kataku sambil memperlihatkan cincin itu pada Ibuku.
“Ini cincin emas Nak. Bagaimana bisa cincin ini ada dalam kaleng itu?”
“Tadi, ada seorang perempuan yang memberikan uang pada Arbi. Mungkin cincin ini lepas ketika ia memasukkan uang itu ke dalam keleng.”
“Kamu harus kembalikan cincin ini pada pemiliknya. Kita tidak berhak memegang benda ini.”
“Tapi Bu….”
“Sudah. Besok pagi kamu harus cari pemilik cincin ini.”
Aku bukannya tidak mau mengembalikan cincin ini. Tapi pada siapa harus kukembalikan. Di mana perempuan itu bisa aku temukan. Memang wajahnya masih segar diingatanku. Tapi bagaimana mungkin aku bisa mencarinya di tengah kota besar seperti ini. “Mudah-mudahan niat baik ini dilancarkan Allah,” batinku.
***
Pagi ini, aku memulai aktifitas seperti biasa. Berbekal tongkat besi yang bengkok di ujungnya, serta sebuah kantong plastik jumbo, kutelusuri jalan di kota Pekanbaru. Namun, pagi ini aku punya pekerjaan tambahan. Yaitu mencari perempuan pemilik cincin itu. Awalnya aku mendatangi tempat ketika pertama kali bertemu dengannya. Tapi nihil. Ia tak ada di situ. Kucoba bertanya tentang perempuan itu. Namun jawaban yang kudapatkan tidak memuaskan. Sebab aku hanya mengandalkan nama yang ada di cincin itu. Apalagi nama “Marni” sangat banyak. Tidak mungkin nama bisa kujadikan petunjuk.
Tiba-tiba, tak jauh di depanku, ada seorang perempuan yang sepertinya adalah perempuan yang memberikanku uang tadi malam. Perlahan aku menghampirinya. Kuberanikan diri untuk menyapanya.
“Maaf kak, apa benar nama kakak ini Marni?”
Perempuan itu berbalik badan dan menatapku heran.
“Bukan Dek. Memangnya kenapa?”
“Tidak ada apa-apa kak. Maaf mengganggu.”
Kembali kulanjutkan perjalanan. Menyusuri jalan tanpa arah dan tujuan. Bahkan aku lupa bahwa tujuanku bukan hanya untuk mencari pemilik cincin ini tapi juga mencari barang-barang bekas untuk menukarkannya dengan lembaran uang yang tidak seberapa.
Tak kuhiraukan lagi peluhku yang meleleh membasahi tubuh ringkihku. Aku terus berjalan dan berjalan. Hingga pada akhirnya aku berhenti di sebuah rumah yang megah. Pekarangan yang luas. Penuh tanaman-tanaman yang mahal. Belum lama aku istirahat di sana, pagar rumah itu terbuka. Sebuah mobil mewah keluar dari rumah itu. Mataku tertuju pada seorang perempuan yang ada di dalam mobil. Aku merasa perempuan itu tak asing. Seolah pernah melihatnya. Bahkan sering. Tiba-tiba ingatanku kembali pada perempuan pemilik cincin ini. Ya, itu dia perempuan yang kucari. Pemilik cincin ini. Aku berusaha memanggilnya. Berteriak sekeras mungkin. Tapi, kecepatan mobilnya membuat suaraku tak ubahnya bisikan semut. Sama sekali tak bisa didengarnya.
Aku berusaha mengejarnya, tapi sia-sia. Ia tak terlihat lagi. Hilang ditelan tikungan yang tajam. Aku mencoba kembali ke rumah itu. Kupanggil dengan suara keras. Berharap ada orang di dalam. Mungkin suaminya, anak-anaknya, atau pembantunya. Siapapun itu, aku hanya ingin memastikan apa yang kulihat adalah pemilik cincin ini. Lalu mengembalikan pada pemiliknya. Walaupun harus dengan perantara orang-orang yang mengenalnya.
Berkali-kali aku memanggil. Namun tak ada satu pun yang keluar. “Mungkin ia hanya tinggal sendiri di rumah ini. Nanti malam saja aku kembali ke sini lagi,” gumamku.
***
“Cincin ini belum bisa Arbi kembalikan Bu. Tapi Arbi sudah tahu rumah pemiliknya. Pemiliknya orang kaya. Rumahnya saja seperti istana. Semoga saja setelah Arbi kembalikan cincin ini, ia mau mengajak kita tinggal di rumahnya,” kataku pada Ibu yang tak kuasa menahan batuk.
“Husst… kamu ini. Kalau melakukan kebaikan itu jangan mengharapkan balasan. Itu namanya tidak ikhlas. Kalau kita ikhlas Allah akan membalasnya berlipat ganda.”
“Arbi hanya bercanda Bu. Ya sudah, Arbi siap-siap dulu. Sebentar lagi Arbi akan ke rumah pemilik cincin ini.”
***
Malam kembali datang. Ia datang membawa kesejukan yang dihembuskan angin. Aku telah siap untuk mendatangi rumah pemilik cincin ini. Malam ini aku sengaja tidak “bekerja”. Sebab mengembalikan cincin ini jauh lebih penting daripada sesuap nasi. Kira-kira begitulah pesan Ibuku.
Tepat di depan rumah mewah itu, aku berdiri. Kukumpulkan semua keberanian. Niatku baik, bahkan sangat baik. Tapi rasa takutku lebih seperti orang yang ingin maling ayam. Entah kenapa bisa begini. Belum lama aku berdiri, bahkan belum sempat memanggil, perempuan itu keluar dari rumah. Ia menyapaku ramah. Tanpa basa-basi, kujelaskan maksud kedatanganku. Tampak jelas kegembiraan terpancar dari wajahnya. Apalagi saat ia melihat cincinnya yang hilang itu. Tak lama kemudian, seorang laki-laki yang tak asing bagiku keluar dari dalam rumah. Ia menatapku tajam. Aku terbelalak, saat melihat jelas wajahnya. Ia adalah laki-laki yang meninggalkan aku dan Ibuku membusuk di kandang itu. Ia Ayahku. Tak mungkin. Ini tak mungkin. Aku berusaha tenang. Tapi ia seolah tak mengenalku. Mungkin ia malu, atau memang sudah lupa. Tanpa pikir panjang lagi, aku segera berlari, meninggalkan rumah itu. Bahkan perempuan itu belum sempat mengucapkan terima kasih.
Apa yang aku saksikan itu, membuat semangat hidupku patah. Apa yang aku lihat, tak ingin kuceritakan pada Ibuku. Aku tak ingin ia lebih menderita lagi. Jika tahu laki-laki yang masih ada ikatan perkawinan dengannya itu kini telah hidup penuh kemewahan. Entah bagaimana ia bisa menjadi kaya. Tapi yang jelas, rahasia ini akan kusimpan. Kututup rapat-rapat dalam bingkai kekecewaan. Namun, ini tak akan membuat keinginanku layu. Ya, keinginan untuk membahagiakan Ibuku. Aku yakin suatu saat nanti, tanpa Ayah, aku bisa membahagiakan Ibuku. Itu janjiku.
***
Nama penulis adalah Samsul, mahasiswa jurusan bahasa Indonesia, Universitas Islam Riau. Masih tertatah menapaki bukit aksara.
Cerpen abg q :)
CERPENKU; MENEBUS IMPIAN YG TRBIT DI RIAU POS, 12 AGUSTUS 2012
oleh Samsul Poenya (Catatan) pada 22 Desember 2011 pukul 10:28
MENEBUS IMPIAN
Mimpi adalah sebuah kekuatan.
Mimpi adalah tumpukan harapan.
Mimpi adalah lapisan kenyataan.
Bermimpilah!
Bawa ia ke duniamu dengan ikhtiar.
Rinai-rinai hujan menyentuh permukaan tanah yang retak oleh jilatan mentari. Lebih dari tiga bulan hujan sembunyi. Wujudnya tak pernah ditampakkan. Seakan ia lenyap ditelan bumi. Mendung yang menjadi sahabat karibnya, juga tak pernah muncul. Siang, malam, selalu ditemani hawa panas yang merebak. Tapi kini, dua sahabat itu kembali. Bak pulang dari rantau.
Di tengah cucuran hujan yang deras, aku harus menyelesaikan tugas yang baru kumulai. Rasa dingin yang menusuk perlahan membelit otot-ototku. Kaku. Tanganku bergeming. Bibirku bergerak-gerak tak keruan. Gemeretak gigiku terdengar keras. Mirip bunyi mesin penggiling padi yang sudah uzur. Tangkai dodos yang tadinya ditanganku terlepas. Tak mampu lagi tanganku memegang benda yang selalu bermusuhan dengan kelapa sawit itu.
Inginku menyelesaikan pekerjaan yang telah dua tahun kugeluti ini, dan kembali ke rumah. Merebahkan ragaku yang telah kuyu. Tapi tanganku seakan merajuk. Seperti seorang anak yang tak diajak Ayahnya berlibur ke Bali. Tanganku enggan berdamai dengan dodos. Bahkan ia tak mau menyentuh tangkai dodos itu. Aku tak bisa memaksa. Lagi pula, tenagaku telah disedot oleh hembusan angin yang begitu dingin. Semangatku mengkerut. Akhirnya, kuputuskan untuk pulang ke rumah. Istirahat.
Aku tergontai mengayuh sepeda. Meninggalkan kebun sawit yang menjadi tempatku menyambung nafas. Di perjalanan, dadaku seakan ditumbuhi ilalang. Sesak. Mataku sayu. Jalan yang lebar seakan sempit. Aku berhenti di tengah hujan. Tak mampu melanjutkan perjalanan. Dari kejauhan terlihat cahaya. Perlahan cahaya itu mendekat. Tak lama, suara klokson mobil terdengar dari balik cahaya itu. Mobil itu berhenti di sampingku. Seakan mobil itu ingin mengatakan pada sepeda bututku : hey sepeda reot. Ayo kita adu kecepatan!
“Sedang apa kau di tengah hujan ini, Man?” sapa lelaki yang berada di dalam mobil.
“Pak Ibas? Tidak ada Pak. Tadi dada saya sakit, jadi saya istirahat sebentar.”
“O, ya. Sawitnya sudah kau panen semua?”
“Be… belum Pak. Saya mohon izin istirahat dulu Pak. Besok pasti saya lanjutkan.”
“Besok katamu? Kau pikir itu sawit nenek moyangmu. Pokoknya sekarang kau kembali ke sana. Dan selesaikan pekerjaanmu, atau kau mau tiga bulan tidak digaji?” bentak induk semangku itu.
“Ba… baik Pak.”
Aku memutar arah sepedaku. Rencanaku untuk istirahat di rumah, kini telah hancur. Bagaikan kepingan meteor yang menabrak atmosfer. Sakit di dadaku berbaur dengan bentakan dari induk semangku tadi. Semuanya menyatu. Seakan ingin merobek jantungku. Sakit sekali.
Dua tahun sudah aku bekerja pada induk semangku itu, sebagai tukang panen kelapa sawit. Tak terhitung caci-maki yang telah dilontarkannya untukku. Ia sangat angkuh. Lebih angkuh dari ajudan kompeni. Tapi, dialah satu-satunya orang yang mau menerimaku bekerja di kampung ini. Bisa dibilang, orang-orang di kampungku tak banyak yang percaya denganku. Karena aku adalah mantan napi.
Dulu, ketika umurku masih tujuh belas tahun, aku mendapat kepercayaan besar dari warga kampung. Mereka memintaku sebagai penjaga masjid. Itu dikarenakan, aku yang tidak pernah alpa ke masjid, dibandingkan dengan kebanyakan orang di kampungku. Bahkan mereka yang mengklaim dirinya ustaz, lebih sering shalat di rumah ketimbang di masjid. Namun, kepercayaan yang diberikan warga kepadaku hancur ; bagaikan kota Nagasaki dan Hirosima yang luluh lantah akibat bom atom. Aku menggelapkan uang kas masjid. Itu kulakukan bukan semata-mata ingin mencuri. Tapi aku punya alasan yang kuat. Ibuku sakit keras, dan aku harus membawanya ke rumah sakit. Aku tidak punya biaya sepeser pun. Hingga aku menggunakan uang kas itu untuk mengobati Ibuku. Tapi, alasan itu tak mempan di depan hukum dan di depan orang-orang kampungku. Menurut mereka, maling tetaplah maling. Berbeda dengan koruptor, yang dianggap pahlawan karena membuka aib sesamanya.
***
Aku sampai di kebun sawit dengan rasa letih yang telah pasang. Namun, aku harus menyelesaikan tugasku. Kalau tidak, tamatlah riwayat pekerjaanku. Inilah pekerjaan yang bisa kulakukan. Tak ada pilihan lain, jika aku masih mau makan. Mungkin ini adalah hukuman untukku, karena telah membuat Ibuku meninggal ; setelah tahu kalau aku mengobatinya dengan uang hasil curian. Aku menyesal. Sangat menyesal.
Satu per satu buah kelapa sawit yang kupanen berguguran. mataku sembab. Aku menangis. Meratapi impianku. Impian yang selalu kupelihara dibenakku. Tapi, nampaknya impian itu kini tak lebih dari sekedar angan-angan kosong. Aku tak mungkin mewujudkannya. Mimpiku yang ingin selalu membawa pena kemana pun aku pergi, kini seakan pupus ditelan nasibku. Pena yang menjadi lambang seorang penulis. Tampaknya, kini tak lebih dari omong kosong. Buktinya, sekarang kemana pun aku pergi, bukan pena yang kubawa, melainkan alat untuk memanen kelapa sawit ini.
Aku tak sanggup lagi menahan gundukan keletihan ini. Pundakku seakan tengah memikul puluhan ton kelapa sawit. Remuk. Hujan masih belum berhenti. Tiba-tiba penglihatanku buram. Kepalaku seolah-olah dimasukkan ke dalam mesin cuci. Berputar-putar. Seketika itu juga, aku terkapar di atas buah kelapa sawit yang ranum. Pingsan.
***
Malam mulai merebahkan wujudnya yang pekat. Ia membalut senja yang keemasan. Perlahan cahaya matahari yang memudar, berganti dengan lapisan kelam. Derap-derap langkah terdengar pelan di telingaku. Aku mengucek-ngucek mata. Rasa letih itu masih membalut otot-ototku. Tapi, suasana yang kurasakan sekarang berbeda. Ini bukan kebun sawit. Mana ada plafon di tengah kebun begini, gumamku dalam hati.
“Kamu sudah bangun , Man?”
Suara itu membuyarkan pikiranku yang masih ling-lung. Aku terperanjak ketika melihat sosok lelaki yang menyapaku. Lelaki ini tak asing lagi bagiku. Tapi kenapa ia bisa ada di sini. Bukankah dia tinggal di Pekanbaru, sejak orang tuanya pindah tugas dua belas tahun yang lalu. Sejak itu, ia tak pernah lagi menginjakkan kakinya di kampung ini. Lalu kenapa tiba-tiba dia ada di sini.
“Kamu masih lemah, Man. Lebih baik istirahat saja dulu!”
“Fahmi? Ini benar kamu? Kenapa kamu bisa ada di sini? Seingatku tadi, aku sedang berada di kebun sawit. Kamu yang ….”
Belum sempat aku melemparnya dengan pertanyaan yang penuh rasa heran, ia memotong pertanyaanku dengan jawaban yang seolah telah disiapkannya sejak ia membawaku ke tempat yang masih aneh di mataku ini.
“Iya, Man. Aku yang membawamu ke sini. Kamu sekarang di Pekanbaru. Di rumah sakit. Aku sudah dua hari di kampungmu. Tujuanku untuk membeli kebun sawit. Ketika pulang ke Pekanbaru, aku melihat sekerumunan orang di sebuah kebun sawit. Aku berhenti, dan melihatmu tengah pingsan. Orang-orang itu menceritakan tentangmu, juga keluargamu, dan, aku putuskan untuk membawamu ke Pekanbaru. Sudah sembilan jam kamu pingsan.”
“Nanti, setelah kamu baikan, kita pulang ke rumahku. Kamu tinggal di sana. Dan mulai sekarang lupakan pekerjaanmu,” sambungnya.
Aku masih belum mengerti apa yang tengah kuhadapi. Teman lamaku ini muncul ketika aku membutuhkan tempat untuk membagi kegetiran hidupku. Aku tak bisa berkata-kata. Hanya sorot mataku yang mampu menjawab ajakan teman lamaku itu.
***
Hari ini, tak ada lagi kelapa sawit. Dodos. Dan sepeda yang hampir sepuluh tahun menemani hari-hariku. Semuanya bermetafosis. Mungkin di sini aku akan menebus impian yang telah diculik oleh suramnya masa laluku. Aku akan merangkul impian itu, dan membawanya ke duniaku. Di sini.
“Aku masih ingat dengan cita-citamu dua belas tahun yang lalu, Man. Ini kubawakan seperangkat alat tulis dan laptop untukmu. Gunakanlah untuk mewujudkan impianmu, Man.”
Lagi-lagi Fahmi membuyarkan lamunanku.
“Wah, terima kasih kawan. Terima kasih.”
Bukan main senangnya perasaanku menerima barang-barang ajaib itu. Aku melompat. Bersorak. Seperti Macaca fascicularis yang baru saja mendapatkan setandan Musa acuminata. Tak sabar lagi aku ingin segera menulis. Sudah lama aku tidak menulis. Seingatku, terakhir kali aku menulis ketika membuat artikel dan mengikutkannya pada sebuah lomba tingkat SMA se-Riau, dan aku juara satu.
Kuhabiskan hari-hariku di kamar. Membuat beberapa tulisan dengan alat-alat yang diberikan Fahmi kemarin. Walaupun aku sudah lama tidak menulis, tapi tidak ada hambatan yang kuhadapi. EYD, tata bahasa, pembentukan istilah, semuanya masih terekam dibenakku. Begitu juga dengan ide-ide tulisanku. Tak ada yang buntu. Tak sabar, aku ingin mengirimkan tulisanku pada salah satu media cetak di Pekanbaru ini. Siapa tau, mereka mau memuatnya, gumamku.
Hari ini adalah penentuan nasib tulisanku. Karena aku akan mengirimkannya pada media cetak. Pukul 08.00 Wib, aku bergegas mendatangi salah satu kantor media. Kusiapkan tulisan opini terbaikku. Persyaratan untuk sebuah opini sudah lengkap. Mulai dari aktualitasnya, keunikannya, fakta-faktanya, hingga argumen ilmiahnya. Setibanya di sana, aku langsung menuju ruang redaksi.
“Permisi Pak. Saya mau menyerahkan tulisan.”
“Ya.”
Lelaki paruh baya itu dingin menanggapiku. Sama sekali tak bersahabat.
“Maaf Pak. Ini opini saya.”
“Pendidikan Anda apa?”
“Saya tamatan SMA Pak. Enam tahun yang lalu.”
“Maaf, media kami tidak menerima tulisan anak ingusan yang masih cetek wawasannya. Silakan Anda bawa pulang tulisannya!”
Darahku seakan membeku. Harapanku kini telah dicabik-cabik. Badanku panas dingin. Dadaku tercekat. Mirip seekor Tribolium castaneum yang diinjak oleh kaki manusia. Ketika mendengar penolakan yang penuh dengan cacian. Aku pulang dengan membawa gundukan kesedihan yang bernaung di hatiku. Lesu.
***
Tiga minggu sudah penolakan itu berlalu. Aku semakin rajin membuat tulisan. Tak sengaja, aku melihat pengumuman lomba menulis artikel di koran. Lomba itu tingkat umum. Tanpa membuang waktu, siangnya aku mengantarkan tulisanku ke media yang mengadakan lomba itu. Sungguh, aku tak menghiraukan hadiahnya. Bagiku, hadiah bukan tujuanku. Aku cuma ingin dikenal lewat tulisanku. Itu saja.
Hari berikutnya, ketika pemenang lomba itu diumumkan, aku segera membeli koran. Takut habis. Perlahan koran itu kubaca, dan namaku bertengger di peringkat pertama. Aku bersorak-sorak. Seperti seorang arkeolog yang baru saja menemukan fosil langka Thalattosaur ; makhluk laut dengan ekor panjang dan memenuhi air dangkal dan hangat pada zaman awal dinosaurus dan menghilang pada akhir periode triassic sekitar 200 juta tahun lalu.
Besoknya, aku segera ke ruang redaksi untuk mengambil hadiahnya. Setibanya di sana, aku disambut langsung dengan hangat oleh pemimpin redaksinya. Dadaku kembali bertalu-talu. Hebat. Pemrednya memintaku untuk menulis di medianya. Ia meminta tulisanku dikirim tiga kali seminggu. Luar biasa. Ini di luar dugaanku. Sama sekali ia tak menghiraukan pendidikanku.
Mimpi yang dulu kupelihara, kini menunjukkan kejinakannya. Ia benar-benar datang dalam duniaku. Impian itu telah menjadi bagian dari kenyataan hidupku. Aku telah menebusnya dari suramnya masa lalu yang menculik impianku itu. Impian itu bisa menjadi nyata, jika kita menempatkannya pada sisi yang bersebelahan dengan ikhtiar. Bermimpilah! Rangkul ia dalam duniamu. Segera!
***
Mimpi adalah sebuah kekuatan.
Mimpi adalah tumpukan harapan.
Mimpi adalah lapisan kenyataan.
Bermimpilah!
Bawa ia ke duniamu dengan ikhtiar.
Rinai-rinai hujan menyentuh permukaan tanah yang retak oleh jilatan mentari. Lebih dari tiga bulan hujan sembunyi. Wujudnya tak pernah ditampakkan. Seakan ia lenyap ditelan bumi. Mendung yang menjadi sahabat karibnya, juga tak pernah muncul. Siang, malam, selalu ditemani hawa panas yang merebak. Tapi kini, dua sahabat itu kembali. Bak pulang dari rantau.
Di tengah cucuran hujan yang deras, aku harus menyelesaikan tugas yang baru kumulai. Rasa dingin yang menusuk perlahan membelit otot-ototku. Kaku. Tanganku bergeming. Bibirku bergerak-gerak tak keruan. Gemeretak gigiku terdengar keras. Mirip bunyi mesin penggiling padi yang sudah uzur. Tangkai dodos yang tadinya ditanganku terlepas. Tak mampu lagi tanganku memegang benda yang selalu bermusuhan dengan kelapa sawit itu.
Inginku menyelesaikan pekerjaan yang telah dua tahun kugeluti ini, dan kembali ke rumah. Merebahkan ragaku yang telah kuyu. Tapi tanganku seakan merajuk. Seperti seorang anak yang tak diajak Ayahnya berlibur ke Bali. Tanganku enggan berdamai dengan dodos. Bahkan ia tak mau menyentuh tangkai dodos itu. Aku tak bisa memaksa. Lagi pula, tenagaku telah disedot oleh hembusan angin yang begitu dingin. Semangatku mengkerut. Akhirnya, kuputuskan untuk pulang ke rumah. Istirahat.
Aku tergontai mengayuh sepeda. Meninggalkan kebun sawit yang menjadi tempatku menyambung nafas. Di perjalanan, dadaku seakan ditumbuhi ilalang. Sesak. Mataku sayu. Jalan yang lebar seakan sempit. Aku berhenti di tengah hujan. Tak mampu melanjutkan perjalanan. Dari kejauhan terlihat cahaya. Perlahan cahaya itu mendekat. Tak lama, suara klokson mobil terdengar dari balik cahaya itu. Mobil itu berhenti di sampingku. Seakan mobil itu ingin mengatakan pada sepeda bututku : hey sepeda reot. Ayo kita adu kecepatan!
“Sedang apa kau di tengah hujan ini, Man?” sapa lelaki yang berada di dalam mobil.
“Pak Ibas? Tidak ada Pak. Tadi dada saya sakit, jadi saya istirahat sebentar.”
“O, ya. Sawitnya sudah kau panen semua?”
“Be… belum Pak. Saya mohon izin istirahat dulu Pak. Besok pasti saya lanjutkan.”
“Besok katamu? Kau pikir itu sawit nenek moyangmu. Pokoknya sekarang kau kembali ke sana. Dan selesaikan pekerjaanmu, atau kau mau tiga bulan tidak digaji?” bentak induk semangku itu.
“Ba… baik Pak.”
Aku memutar arah sepedaku. Rencanaku untuk istirahat di rumah, kini telah hancur. Bagaikan kepingan meteor yang menabrak atmosfer. Sakit di dadaku berbaur dengan bentakan dari induk semangku tadi. Semuanya menyatu. Seakan ingin merobek jantungku. Sakit sekali.
Dua tahun sudah aku bekerja pada induk semangku itu, sebagai tukang panen kelapa sawit. Tak terhitung caci-maki yang telah dilontarkannya untukku. Ia sangat angkuh. Lebih angkuh dari ajudan kompeni. Tapi, dialah satu-satunya orang yang mau menerimaku bekerja di kampung ini. Bisa dibilang, orang-orang di kampungku tak banyak yang percaya denganku. Karena aku adalah mantan napi.
Dulu, ketika umurku masih tujuh belas tahun, aku mendapat kepercayaan besar dari warga kampung. Mereka memintaku sebagai penjaga masjid. Itu dikarenakan, aku yang tidak pernah alpa ke masjid, dibandingkan dengan kebanyakan orang di kampungku. Bahkan mereka yang mengklaim dirinya ustaz, lebih sering shalat di rumah ketimbang di masjid. Namun, kepercayaan yang diberikan warga kepadaku hancur ; bagaikan kota Nagasaki dan Hirosima yang luluh lantah akibat bom atom. Aku menggelapkan uang kas masjid. Itu kulakukan bukan semata-mata ingin mencuri. Tapi aku punya alasan yang kuat. Ibuku sakit keras, dan aku harus membawanya ke rumah sakit. Aku tidak punya biaya sepeser pun. Hingga aku menggunakan uang kas itu untuk mengobati Ibuku. Tapi, alasan itu tak mempan di depan hukum dan di depan orang-orang kampungku. Menurut mereka, maling tetaplah maling. Berbeda dengan koruptor, yang dianggap pahlawan karena membuka aib sesamanya.
***
Aku sampai di kebun sawit dengan rasa letih yang telah pasang. Namun, aku harus menyelesaikan tugasku. Kalau tidak, tamatlah riwayat pekerjaanku. Inilah pekerjaan yang bisa kulakukan. Tak ada pilihan lain, jika aku masih mau makan. Mungkin ini adalah hukuman untukku, karena telah membuat Ibuku meninggal ; setelah tahu kalau aku mengobatinya dengan uang hasil curian. Aku menyesal. Sangat menyesal.
Satu per satu buah kelapa sawit yang kupanen berguguran. mataku sembab. Aku menangis. Meratapi impianku. Impian yang selalu kupelihara dibenakku. Tapi, nampaknya impian itu kini tak lebih dari sekedar angan-angan kosong. Aku tak mungkin mewujudkannya. Mimpiku yang ingin selalu membawa pena kemana pun aku pergi, kini seakan pupus ditelan nasibku. Pena yang menjadi lambang seorang penulis. Tampaknya, kini tak lebih dari omong kosong. Buktinya, sekarang kemana pun aku pergi, bukan pena yang kubawa, melainkan alat untuk memanen kelapa sawit ini.
Aku tak sanggup lagi menahan gundukan keletihan ini. Pundakku seakan tengah memikul puluhan ton kelapa sawit. Remuk. Hujan masih belum berhenti. Tiba-tiba penglihatanku buram. Kepalaku seolah-olah dimasukkan ke dalam mesin cuci. Berputar-putar. Seketika itu juga, aku terkapar di atas buah kelapa sawit yang ranum. Pingsan.
***
Malam mulai merebahkan wujudnya yang pekat. Ia membalut senja yang keemasan. Perlahan cahaya matahari yang memudar, berganti dengan lapisan kelam. Derap-derap langkah terdengar pelan di telingaku. Aku mengucek-ngucek mata. Rasa letih itu masih membalut otot-ototku. Tapi, suasana yang kurasakan sekarang berbeda. Ini bukan kebun sawit. Mana ada plafon di tengah kebun begini, gumamku dalam hati.
“Kamu sudah bangun , Man?”
Suara itu membuyarkan pikiranku yang masih ling-lung. Aku terperanjak ketika melihat sosok lelaki yang menyapaku. Lelaki ini tak asing lagi bagiku. Tapi kenapa ia bisa ada di sini. Bukankah dia tinggal di Pekanbaru, sejak orang tuanya pindah tugas dua belas tahun yang lalu. Sejak itu, ia tak pernah lagi menginjakkan kakinya di kampung ini. Lalu kenapa tiba-tiba dia ada di sini.
“Kamu masih lemah, Man. Lebih baik istirahat saja dulu!”
“Fahmi? Ini benar kamu? Kenapa kamu bisa ada di sini? Seingatku tadi, aku sedang berada di kebun sawit. Kamu yang ….”
Belum sempat aku melemparnya dengan pertanyaan yang penuh rasa heran, ia memotong pertanyaanku dengan jawaban yang seolah telah disiapkannya sejak ia membawaku ke tempat yang masih aneh di mataku ini.
“Iya, Man. Aku yang membawamu ke sini. Kamu sekarang di Pekanbaru. Di rumah sakit. Aku sudah dua hari di kampungmu. Tujuanku untuk membeli kebun sawit. Ketika pulang ke Pekanbaru, aku melihat sekerumunan orang di sebuah kebun sawit. Aku berhenti, dan melihatmu tengah pingsan. Orang-orang itu menceritakan tentangmu, juga keluargamu, dan, aku putuskan untuk membawamu ke Pekanbaru. Sudah sembilan jam kamu pingsan.”
“Nanti, setelah kamu baikan, kita pulang ke rumahku. Kamu tinggal di sana. Dan mulai sekarang lupakan pekerjaanmu,” sambungnya.
Aku masih belum mengerti apa yang tengah kuhadapi. Teman lamaku ini muncul ketika aku membutuhkan tempat untuk membagi kegetiran hidupku. Aku tak bisa berkata-kata. Hanya sorot mataku yang mampu menjawab ajakan teman lamaku itu.
***
Hari ini, tak ada lagi kelapa sawit. Dodos. Dan sepeda yang hampir sepuluh tahun menemani hari-hariku. Semuanya bermetafosis. Mungkin di sini aku akan menebus impian yang telah diculik oleh suramnya masa laluku. Aku akan merangkul impian itu, dan membawanya ke duniaku. Di sini.
“Aku masih ingat dengan cita-citamu dua belas tahun yang lalu, Man. Ini kubawakan seperangkat alat tulis dan laptop untukmu. Gunakanlah untuk mewujudkan impianmu, Man.”
Lagi-lagi Fahmi membuyarkan lamunanku.
“Wah, terima kasih kawan. Terima kasih.”
Bukan main senangnya perasaanku menerima barang-barang ajaib itu. Aku melompat. Bersorak. Seperti Macaca fascicularis yang baru saja mendapatkan setandan Musa acuminata. Tak sabar lagi aku ingin segera menulis. Sudah lama aku tidak menulis. Seingatku, terakhir kali aku menulis ketika membuat artikel dan mengikutkannya pada sebuah lomba tingkat SMA se-Riau, dan aku juara satu.
Kuhabiskan hari-hariku di kamar. Membuat beberapa tulisan dengan alat-alat yang diberikan Fahmi kemarin. Walaupun aku sudah lama tidak menulis, tapi tidak ada hambatan yang kuhadapi. EYD, tata bahasa, pembentukan istilah, semuanya masih terekam dibenakku. Begitu juga dengan ide-ide tulisanku. Tak ada yang buntu. Tak sabar, aku ingin mengirimkan tulisanku pada salah satu media cetak di Pekanbaru ini. Siapa tau, mereka mau memuatnya, gumamku.
Hari ini adalah penentuan nasib tulisanku. Karena aku akan mengirimkannya pada media cetak. Pukul 08.00 Wib, aku bergegas mendatangi salah satu kantor media. Kusiapkan tulisan opini terbaikku. Persyaratan untuk sebuah opini sudah lengkap. Mulai dari aktualitasnya, keunikannya, fakta-faktanya, hingga argumen ilmiahnya. Setibanya di sana, aku langsung menuju ruang redaksi.
“Permisi Pak. Saya mau menyerahkan tulisan.”
“Ya.”
Lelaki paruh baya itu dingin menanggapiku. Sama sekali tak bersahabat.
“Maaf Pak. Ini opini saya.”
“Pendidikan Anda apa?”
“Saya tamatan SMA Pak. Enam tahun yang lalu.”
“Maaf, media kami tidak menerima tulisan anak ingusan yang masih cetek wawasannya. Silakan Anda bawa pulang tulisannya!”
Darahku seakan membeku. Harapanku kini telah dicabik-cabik. Badanku panas dingin. Dadaku tercekat. Mirip seekor Tribolium castaneum yang diinjak oleh kaki manusia. Ketika mendengar penolakan yang penuh dengan cacian. Aku pulang dengan membawa gundukan kesedihan yang bernaung di hatiku. Lesu.
***
Tiga minggu sudah penolakan itu berlalu. Aku semakin rajin membuat tulisan. Tak sengaja, aku melihat pengumuman lomba menulis artikel di koran. Lomba itu tingkat umum. Tanpa membuang waktu, siangnya aku mengantarkan tulisanku ke media yang mengadakan lomba itu. Sungguh, aku tak menghiraukan hadiahnya. Bagiku, hadiah bukan tujuanku. Aku cuma ingin dikenal lewat tulisanku. Itu saja.
Hari berikutnya, ketika pemenang lomba itu diumumkan, aku segera membeli koran. Takut habis. Perlahan koran itu kubaca, dan namaku bertengger di peringkat pertama. Aku bersorak-sorak. Seperti seorang arkeolog yang baru saja menemukan fosil langka Thalattosaur ; makhluk laut dengan ekor panjang dan memenuhi air dangkal dan hangat pada zaman awal dinosaurus dan menghilang pada akhir periode triassic sekitar 200 juta tahun lalu.
Besoknya, aku segera ke ruang redaksi untuk mengambil hadiahnya. Setibanya di sana, aku disambut langsung dengan hangat oleh pemimpin redaksinya. Dadaku kembali bertalu-talu. Hebat. Pemrednya memintaku untuk menulis di medianya. Ia meminta tulisanku dikirim tiga kali seminggu. Luar biasa. Ini di luar dugaanku. Sama sekali ia tak menghiraukan pendidikanku.
Mimpi yang dulu kupelihara, kini menunjukkan kejinakannya. Ia benar-benar datang dalam duniaku. Impian itu telah menjadi bagian dari kenyataan hidupku. Aku telah menebusnya dari suramnya masa lalu yang menculik impianku itu. Impian itu bisa menjadi nyata, jika kita menempatkannya pada sisi yang bersebelahan dengan ikhtiar. Bermimpilah! Rangkul ia dalam duniamu. Segera!
***
Jumat, 15 Maret 2013
AKU KATA MEREKA
Bagaimana pandangan anda terhadap saya???
Banyak orang yang
mengatakan “bahwa yang menilai diri kita adalah orang lain”.
Ketika saya meminta penilaian seseorang terhadap
saya, Banyak yang mengatakan bahwa saya adalah orang yang baik. Namun pada
kenyataannya saya bukan termasuk orang itu. “Saya hanyalah orang yang so polos,
so suci, so bersih, yang menjurumuskan temannya sendiri” begitulah katanya.
Kalau tidak percaya
tanya saja sama orang yang pernah tersakiti.
Pekanbaru, Desember
2012
Langganan:
Postingan (Atom)