CERPENKU YG TERBIT DI RIAU POS; 13 JANUARI 2013
oleh Samsul Poenya (Catatan) pada 14 Januari 2013 pukul 7:11
PATAH TAPI TAK LAYU
Hidupku tak ubahnya sebatang pohon trembesi yang bercokol di pinggir jalan raya. Meneduhkan langkah orang-orang yang melewatinya. Menebarkan sejuk lewat rindang daunnya. Hingga membarterkan oksigen dengan karbondioksida yang diciptakan manusia. Namun sebenarnya, ia adalah makhluk yang rapuh. Dahannya mudah patah. Jika hujan terus mengguyurnya dan angin menamparnya, dapat dipastikan dahannya akan patah. Tapi, karena stomatanya yang istimewa, mampu membuat dahannya yang patah bertahan hidup. Tidak layu.
Kehidupanku juga begitu. Penuh dengan masalah, masalah dan masalah. Apalagi sejak Ayahku pergi—entah kemana. Hidupku tak ubahnya labirin. Jika dimasuki masalah, butuh waktu lama untuk membuatnya keluar. Namun, sebesar apapun masalah yang menghampiriku selalu saja ada jalan yang membuat semangatku tidak layu.
Aku tinggal bersama Ibuku dalam sebuah tempat yang sebenarnya tak layak diakatakan rumah. Bentuknya mirip gubuk. Tidak! Mungkin lebih mirip gudang. Bukan juga! Sepertinya lebih tepat dikatakan kandang. Ya, kandang. Sebab, kami berbagi tempat tidur dengan tikus, kecoa dan makhluk menjijikkan lainnya. Atapnya hanya menggunakan seng bekas yang sudah bolong sana-sini. Dindingnya dibalut rajutan bambu yang sudah berusia puluhan tahun. Pintunya? Inilah alasan yang tepat kenapa tempat tinggalku lebih layak dikatakan kandang. Pintunya tidak berwujud. Jika aku dan Ibuku ingin masuk atau keluar, kami mengangkat bagian bawah kandang tersebut. Lalu keluar melewati celah yang terbuka. Ironis? Ya, itulah kehidupanku. Kehidupan yang membuatku kebal dengan penderitaan.
Ada satu impian yang ingin aku wujudkan. Membahagiakan Ibuku. Tentu saja. Siapa yang tak ingin membuat ibunya bahagia. Semua anak di dunia ini juga berpikir hal yang sama. Tapi mereka yang beruntung dengan mudah membahagiakan ibunya. Salah satu caranya adalah belajar dengan rajin. Menciptakan prestasi yang dapat membanggakan mereka. Merantau ke negeri seberang, mengumpulkan uang, lalu mengirimkan pada ibunya di kampung. Menikah dengan perempuan sholeha. Tapi aku? Membahagiakan Ibuku tak ubahnya mencari jarum di dasar Samudera Artik.
***
Malam kini tengah merebahkan wujudnya di kota Pekanbaru. Dihiasi dengan ribuan bintang yang berlomba menampakkan diri. Rembulan tak mau kalah. Ia berdiri setengah badan. Sehingga tampak lengkungan indah di perut-nya. Aku tengah sibuk mempersiapkan alat-alatku untuk mengumpulkan uang dari tangan-tangan iba. Berbekal sebuah gitar, kutelusuri jalan yang penuh cahaya dari makhluk Tuhan yang tak tega menyaksikan penderitaanku. Rumah makan demi rumah makan aku datangi. Menyanyikan lagu dengan diiringi gitarku yang tak tahu nada. Bunyinya mirip gesekan seng yang diakibatkan angin. Berisik dan mengusik. Tapi itulah yang bisa kulakukan jika malam tiba. Kalau siang datang, lain lagi yang kulakukan untuk mendapatkan uang.
Kadang tak jarang aku hanya mendapatkan ucapan terima kasih. Padahal aku tak meminta banyak. Seratus rupiah pun tak mengapa. Tapi itulah manusia. Jika mereka berkecukupan enggan berbagi. Mereka lupa bahwa sebagian harta yang mereka miliki ada hak orang-orang sepertiku. Apalagi aku tak meminta dengan cuma-cuma. Aku memberikan mereka hiburan. Walaupun sebenarnya kedatanganku malah menggangu mereka. Tapi niatku baik. Memberikan hiburan sekaligus mencari makan.
“Sini Dek!” seorang perempuan yang duduk di sebuah rumah makan memanggilku.
“Ya Kak. Ada apa ya?”
“Ini untukmu. Ambillah!”
Perempuan itu memasukkan uang ke dalam kaleng yang telah kusiapkan dari rumah. Jumlahnya aku tak tahu. Sebab uang itu digenggamnya, dan tangannya ikut masuk dalam kaleng itu.
“Terima Kasih Kak.”
Ia berlalu meninggalkanku dengan senyum yang masih tertahan di wajahnya. Aku kembali berjalan. Menyanyi. Bahkan hanya sekedar memetik senar gitar ketika respon orang-orang yang kudatangi tidak bersahabat. Malam semakin larut. Tak ada lagi orang yang mau berbagi rezeki denganku. Tampaknya hanya perempuan tadi yang berbaik hati padaku malam ini.
***
Ketika sampai di rumah—berat hatiku mengatakan rumah—Ibuku duduk dengan wajah yang tertunduk ke bawah. Entah apa yang ia pikirkan. Aku mencoba mendekat.
“Kenapa Ibu belum tidur? Ini kan sudah larut malam.”
“Entahlah Nak. Ibu ingat Bapakmu.”
“Sudahlah Bu. Tak usah pikirkan Bapak. Ia tak mencintai kita. Bukankah Ibu selalu bilang kalau Bapak itu manusia yang paling jahat. Ia meninggalkan kita karena tak sanggup menanggung beban sebagai kepala keluarga. Dan pergi mencari kebahagiaan lain di luar sana. Apa Ibu lupa?”
“Iya. Tapi sampai kapan pun kamu tetap anaknya. Darah dagingnya.”
“Sudahlah Bu. Arbi istirahat dulu. Lupakan Bapak. Jangan buat Ibu lebih sakit lagi hanya karena laki-laki tak bertanggung jawab itu.”
Aku melihat air matanya mengalir deras melewati sisi bibirnya. Mungkin perasaannya hancur saat aku melontarkan kata yang teramat kasar. Tapi aku tak ingin Ibuku bertambah sakit. Cukup sudah ia menderita lahiriah. Jangan sampai batinnya ikut menderita.
Aku tak ingin lagi berdebat. Perlahan kutinggalkan Ibu yang sedang menangis. Aku tak kuasa melihatnya terus bersedih. Ketika di dalam rumah, kubuka kaleng yang berisi uang hasil menyanyi-ku malam ini. Kutemukan selembar uang dua puluh ribu rupiah. Betapa senangnya perasaanku. Biasanya untuk mendapatkan uang sebanyak ini aku harus mengumpulnya dari dua puluh orang. Tapi ini hanya satu orang. Kubalikkan kaleng itu dengan harapan ada lembaran uang lain yang tersisa di dalamnya. Namun, tanganku gemetar. Dadaku berdebar. Mataku berbinar. Ketika tanganku memegang sebuah benda kuning yang berbentuk lingkaran sebesar ibu jari. “Inikan cincin. Kenapa bisa ada dalam kaleng ini?” batinku. “Perempuan itu? Ya, mungkin ini cincin milik perempuan itu.” Kuperhatikan tiap lekuk cincin itu. Ada sebuah tulisan yang mungkin ada hubungannya dengan perempuan itu. “Marni”. Itulah tulisan yang kulihat di cincin itu.
“Ibu… Ibu….” suaraku membangunkan kecoa yang sengaja menumpang istirahat di rumah-ku.
“Kenapa Nak? Tengah malam begini teriak-teriak.”
“Arbi menemukan ini dalam kaleng tempat mengumpul uang hasil ngamen Bu,” kataku sambil memperlihatkan cincin itu pada Ibuku.
“Ini cincin emas Nak. Bagaimana bisa cincin ini ada dalam kaleng itu?”
“Tadi, ada seorang perempuan yang memberikan uang pada Arbi. Mungkin cincin ini lepas ketika ia memasukkan uang itu ke dalam keleng.”
“Kamu harus kembalikan cincin ini pada pemiliknya. Kita tidak berhak memegang benda ini.”
“Tapi Bu….”
“Sudah. Besok pagi kamu harus cari pemilik cincin ini.”
Aku bukannya tidak mau mengembalikan cincin ini. Tapi pada siapa harus kukembalikan. Di mana perempuan itu bisa aku temukan. Memang wajahnya masih segar diingatanku. Tapi bagaimana mungkin aku bisa mencarinya di tengah kota besar seperti ini. “Mudah-mudahan niat baik ini dilancarkan Allah,” batinku.
***
Pagi ini, aku memulai aktifitas seperti biasa. Berbekal tongkat besi yang bengkok di ujungnya, serta sebuah kantong plastik jumbo, kutelusuri jalan di kota Pekanbaru. Namun, pagi ini aku punya pekerjaan tambahan. Yaitu mencari perempuan pemilik cincin itu. Awalnya aku mendatangi tempat ketika pertama kali bertemu dengannya. Tapi nihil. Ia tak ada di situ. Kucoba bertanya tentang perempuan itu. Namun jawaban yang kudapatkan tidak memuaskan. Sebab aku hanya mengandalkan nama yang ada di cincin itu. Apalagi nama “Marni” sangat banyak. Tidak mungkin nama bisa kujadikan petunjuk.
Tiba-tiba, tak jauh di depanku, ada seorang perempuan yang sepertinya adalah perempuan yang memberikanku uang tadi malam. Perlahan aku menghampirinya. Kuberanikan diri untuk menyapanya.
“Maaf kak, apa benar nama kakak ini Marni?”
Perempuan itu berbalik badan dan menatapku heran.
“Bukan Dek. Memangnya kenapa?”
“Tidak ada apa-apa kak. Maaf mengganggu.”
Kembali kulanjutkan perjalanan. Menyusuri jalan tanpa arah dan tujuan. Bahkan aku lupa bahwa tujuanku bukan hanya untuk mencari pemilik cincin ini tapi juga mencari barang-barang bekas untuk menukarkannya dengan lembaran uang yang tidak seberapa.
Tak kuhiraukan lagi peluhku yang meleleh membasahi tubuh ringkihku. Aku terus berjalan dan berjalan. Hingga pada akhirnya aku berhenti di sebuah rumah yang megah. Pekarangan yang luas. Penuh tanaman-tanaman yang mahal. Belum lama aku istirahat di sana, pagar rumah itu terbuka. Sebuah mobil mewah keluar dari rumah itu. Mataku tertuju pada seorang perempuan yang ada di dalam mobil. Aku merasa perempuan itu tak asing. Seolah pernah melihatnya. Bahkan sering. Tiba-tiba ingatanku kembali pada perempuan pemilik cincin ini. Ya, itu dia perempuan yang kucari. Pemilik cincin ini. Aku berusaha memanggilnya. Berteriak sekeras mungkin. Tapi, kecepatan mobilnya membuat suaraku tak ubahnya bisikan semut. Sama sekali tak bisa didengarnya.
Aku berusaha mengejarnya, tapi sia-sia. Ia tak terlihat lagi. Hilang ditelan tikungan yang tajam. Aku mencoba kembali ke rumah itu. Kupanggil dengan suara keras. Berharap ada orang di dalam. Mungkin suaminya, anak-anaknya, atau pembantunya. Siapapun itu, aku hanya ingin memastikan apa yang kulihat adalah pemilik cincin ini. Lalu mengembalikan pada pemiliknya. Walaupun harus dengan perantara orang-orang yang mengenalnya.
Berkali-kali aku memanggil. Namun tak ada satu pun yang keluar. “Mungkin ia hanya tinggal sendiri di rumah ini. Nanti malam saja aku kembali ke sini lagi,” gumamku.
***
“Cincin ini belum bisa Arbi kembalikan Bu. Tapi Arbi sudah tahu rumah pemiliknya. Pemiliknya orang kaya. Rumahnya saja seperti istana. Semoga saja setelah Arbi kembalikan cincin ini, ia mau mengajak kita tinggal di rumahnya,” kataku pada Ibu yang tak kuasa menahan batuk.
“Husst… kamu ini. Kalau melakukan kebaikan itu jangan mengharapkan balasan. Itu namanya tidak ikhlas. Kalau kita ikhlas Allah akan membalasnya berlipat ganda.”
“Arbi hanya bercanda Bu. Ya sudah, Arbi siap-siap dulu. Sebentar lagi Arbi akan ke rumah pemilik cincin ini.”
***
Malam kembali datang. Ia datang membawa kesejukan yang dihembuskan angin. Aku telah siap untuk mendatangi rumah pemilik cincin ini. Malam ini aku sengaja tidak “bekerja”. Sebab mengembalikan cincin ini jauh lebih penting daripada sesuap nasi. Kira-kira begitulah pesan Ibuku.
Tepat di depan rumah mewah itu, aku berdiri. Kukumpulkan semua keberanian. Niatku baik, bahkan sangat baik. Tapi rasa takutku lebih seperti orang yang ingin maling ayam. Entah kenapa bisa begini. Belum lama aku berdiri, bahkan belum sempat memanggil, perempuan itu keluar dari rumah. Ia menyapaku ramah. Tanpa basa-basi, kujelaskan maksud kedatanganku. Tampak jelas kegembiraan terpancar dari wajahnya. Apalagi saat ia melihat cincinnya yang hilang itu. Tak lama kemudian, seorang laki-laki yang tak asing bagiku keluar dari dalam rumah. Ia menatapku tajam. Aku terbelalak, saat melihat jelas wajahnya. Ia adalah laki-laki yang meninggalkan aku dan Ibuku membusuk di kandang itu. Ia Ayahku. Tak mungkin. Ini tak mungkin. Aku berusaha tenang. Tapi ia seolah tak mengenalku. Mungkin ia malu, atau memang sudah lupa. Tanpa pikir panjang lagi, aku segera berlari, meninggalkan rumah itu. Bahkan perempuan itu belum sempat mengucapkan terima kasih.
Apa yang aku saksikan itu, membuat semangat hidupku patah. Apa yang aku lihat, tak ingin kuceritakan pada Ibuku. Aku tak ingin ia lebih menderita lagi. Jika tahu laki-laki yang masih ada ikatan perkawinan dengannya itu kini telah hidup penuh kemewahan. Entah bagaimana ia bisa menjadi kaya. Tapi yang jelas, rahasia ini akan kusimpan. Kututup rapat-rapat dalam bingkai kekecewaan. Namun, ini tak akan membuat keinginanku layu. Ya, keinginan untuk membahagiakan Ibuku. Aku yakin suatu saat nanti, tanpa Ayah, aku bisa membahagiakan Ibuku. Itu janjiku.
***
Nama penulis adalah Samsul, mahasiswa jurusan bahasa Indonesia, Universitas Islam Riau. Masih tertatah menapaki bukit aksara.
Hidupku tak ubahnya sebatang pohon trembesi yang bercokol di pinggir jalan raya. Meneduhkan langkah orang-orang yang melewatinya. Menebarkan sejuk lewat rindang daunnya. Hingga membarterkan oksigen dengan karbondioksida yang diciptakan manusia. Namun sebenarnya, ia adalah makhluk yang rapuh. Dahannya mudah patah. Jika hujan terus mengguyurnya dan angin menamparnya, dapat dipastikan dahannya akan patah. Tapi, karena stomatanya yang istimewa, mampu membuat dahannya yang patah bertahan hidup. Tidak layu.
Kehidupanku juga begitu. Penuh dengan masalah, masalah dan masalah. Apalagi sejak Ayahku pergi—entah kemana. Hidupku tak ubahnya labirin. Jika dimasuki masalah, butuh waktu lama untuk membuatnya keluar. Namun, sebesar apapun masalah yang menghampiriku selalu saja ada jalan yang membuat semangatku tidak layu.
Aku tinggal bersama Ibuku dalam sebuah tempat yang sebenarnya tak layak diakatakan rumah. Bentuknya mirip gubuk. Tidak! Mungkin lebih mirip gudang. Bukan juga! Sepertinya lebih tepat dikatakan kandang. Ya, kandang. Sebab, kami berbagi tempat tidur dengan tikus, kecoa dan makhluk menjijikkan lainnya. Atapnya hanya menggunakan seng bekas yang sudah bolong sana-sini. Dindingnya dibalut rajutan bambu yang sudah berusia puluhan tahun. Pintunya? Inilah alasan yang tepat kenapa tempat tinggalku lebih layak dikatakan kandang. Pintunya tidak berwujud. Jika aku dan Ibuku ingin masuk atau keluar, kami mengangkat bagian bawah kandang tersebut. Lalu keluar melewati celah yang terbuka. Ironis? Ya, itulah kehidupanku. Kehidupan yang membuatku kebal dengan penderitaan.
Ada satu impian yang ingin aku wujudkan. Membahagiakan Ibuku. Tentu saja. Siapa yang tak ingin membuat ibunya bahagia. Semua anak di dunia ini juga berpikir hal yang sama. Tapi mereka yang beruntung dengan mudah membahagiakan ibunya. Salah satu caranya adalah belajar dengan rajin. Menciptakan prestasi yang dapat membanggakan mereka. Merantau ke negeri seberang, mengumpulkan uang, lalu mengirimkan pada ibunya di kampung. Menikah dengan perempuan sholeha. Tapi aku? Membahagiakan Ibuku tak ubahnya mencari jarum di dasar Samudera Artik.
***
Malam kini tengah merebahkan wujudnya di kota Pekanbaru. Dihiasi dengan ribuan bintang yang berlomba menampakkan diri. Rembulan tak mau kalah. Ia berdiri setengah badan. Sehingga tampak lengkungan indah di perut-nya. Aku tengah sibuk mempersiapkan alat-alatku untuk mengumpulkan uang dari tangan-tangan iba. Berbekal sebuah gitar, kutelusuri jalan yang penuh cahaya dari makhluk Tuhan yang tak tega menyaksikan penderitaanku. Rumah makan demi rumah makan aku datangi. Menyanyikan lagu dengan diiringi gitarku yang tak tahu nada. Bunyinya mirip gesekan seng yang diakibatkan angin. Berisik dan mengusik. Tapi itulah yang bisa kulakukan jika malam tiba. Kalau siang datang, lain lagi yang kulakukan untuk mendapatkan uang.
Kadang tak jarang aku hanya mendapatkan ucapan terima kasih. Padahal aku tak meminta banyak. Seratus rupiah pun tak mengapa. Tapi itulah manusia. Jika mereka berkecukupan enggan berbagi. Mereka lupa bahwa sebagian harta yang mereka miliki ada hak orang-orang sepertiku. Apalagi aku tak meminta dengan cuma-cuma. Aku memberikan mereka hiburan. Walaupun sebenarnya kedatanganku malah menggangu mereka. Tapi niatku baik. Memberikan hiburan sekaligus mencari makan.
“Sini Dek!” seorang perempuan yang duduk di sebuah rumah makan memanggilku.
“Ya Kak. Ada apa ya?”
“Ini untukmu. Ambillah!”
Perempuan itu memasukkan uang ke dalam kaleng yang telah kusiapkan dari rumah. Jumlahnya aku tak tahu. Sebab uang itu digenggamnya, dan tangannya ikut masuk dalam kaleng itu.
“Terima Kasih Kak.”
Ia berlalu meninggalkanku dengan senyum yang masih tertahan di wajahnya. Aku kembali berjalan. Menyanyi. Bahkan hanya sekedar memetik senar gitar ketika respon orang-orang yang kudatangi tidak bersahabat. Malam semakin larut. Tak ada lagi orang yang mau berbagi rezeki denganku. Tampaknya hanya perempuan tadi yang berbaik hati padaku malam ini.
***
Ketika sampai di rumah—berat hatiku mengatakan rumah—Ibuku duduk dengan wajah yang tertunduk ke bawah. Entah apa yang ia pikirkan. Aku mencoba mendekat.
“Kenapa Ibu belum tidur? Ini kan sudah larut malam.”
“Entahlah Nak. Ibu ingat Bapakmu.”
“Sudahlah Bu. Tak usah pikirkan Bapak. Ia tak mencintai kita. Bukankah Ibu selalu bilang kalau Bapak itu manusia yang paling jahat. Ia meninggalkan kita karena tak sanggup menanggung beban sebagai kepala keluarga. Dan pergi mencari kebahagiaan lain di luar sana. Apa Ibu lupa?”
“Iya. Tapi sampai kapan pun kamu tetap anaknya. Darah dagingnya.”
“Sudahlah Bu. Arbi istirahat dulu. Lupakan Bapak. Jangan buat Ibu lebih sakit lagi hanya karena laki-laki tak bertanggung jawab itu.”
Aku melihat air matanya mengalir deras melewati sisi bibirnya. Mungkin perasaannya hancur saat aku melontarkan kata yang teramat kasar. Tapi aku tak ingin Ibuku bertambah sakit. Cukup sudah ia menderita lahiriah. Jangan sampai batinnya ikut menderita.
Aku tak ingin lagi berdebat. Perlahan kutinggalkan Ibu yang sedang menangis. Aku tak kuasa melihatnya terus bersedih. Ketika di dalam rumah, kubuka kaleng yang berisi uang hasil menyanyi-ku malam ini. Kutemukan selembar uang dua puluh ribu rupiah. Betapa senangnya perasaanku. Biasanya untuk mendapatkan uang sebanyak ini aku harus mengumpulnya dari dua puluh orang. Tapi ini hanya satu orang. Kubalikkan kaleng itu dengan harapan ada lembaran uang lain yang tersisa di dalamnya. Namun, tanganku gemetar. Dadaku berdebar. Mataku berbinar. Ketika tanganku memegang sebuah benda kuning yang berbentuk lingkaran sebesar ibu jari. “Inikan cincin. Kenapa bisa ada dalam kaleng ini?” batinku. “Perempuan itu? Ya, mungkin ini cincin milik perempuan itu.” Kuperhatikan tiap lekuk cincin itu. Ada sebuah tulisan yang mungkin ada hubungannya dengan perempuan itu. “Marni”. Itulah tulisan yang kulihat di cincin itu.
“Ibu… Ibu….” suaraku membangunkan kecoa yang sengaja menumpang istirahat di rumah-ku.
“Kenapa Nak? Tengah malam begini teriak-teriak.”
“Arbi menemukan ini dalam kaleng tempat mengumpul uang hasil ngamen Bu,” kataku sambil memperlihatkan cincin itu pada Ibuku.
“Ini cincin emas Nak. Bagaimana bisa cincin ini ada dalam kaleng itu?”
“Tadi, ada seorang perempuan yang memberikan uang pada Arbi. Mungkin cincin ini lepas ketika ia memasukkan uang itu ke dalam keleng.”
“Kamu harus kembalikan cincin ini pada pemiliknya. Kita tidak berhak memegang benda ini.”
“Tapi Bu….”
“Sudah. Besok pagi kamu harus cari pemilik cincin ini.”
Aku bukannya tidak mau mengembalikan cincin ini. Tapi pada siapa harus kukembalikan. Di mana perempuan itu bisa aku temukan. Memang wajahnya masih segar diingatanku. Tapi bagaimana mungkin aku bisa mencarinya di tengah kota besar seperti ini. “Mudah-mudahan niat baik ini dilancarkan Allah,” batinku.
***
Pagi ini, aku memulai aktifitas seperti biasa. Berbekal tongkat besi yang bengkok di ujungnya, serta sebuah kantong plastik jumbo, kutelusuri jalan di kota Pekanbaru. Namun, pagi ini aku punya pekerjaan tambahan. Yaitu mencari perempuan pemilik cincin itu. Awalnya aku mendatangi tempat ketika pertama kali bertemu dengannya. Tapi nihil. Ia tak ada di situ. Kucoba bertanya tentang perempuan itu. Namun jawaban yang kudapatkan tidak memuaskan. Sebab aku hanya mengandalkan nama yang ada di cincin itu. Apalagi nama “Marni” sangat banyak. Tidak mungkin nama bisa kujadikan petunjuk.
Tiba-tiba, tak jauh di depanku, ada seorang perempuan yang sepertinya adalah perempuan yang memberikanku uang tadi malam. Perlahan aku menghampirinya. Kuberanikan diri untuk menyapanya.
“Maaf kak, apa benar nama kakak ini Marni?”
Perempuan itu berbalik badan dan menatapku heran.
“Bukan Dek. Memangnya kenapa?”
“Tidak ada apa-apa kak. Maaf mengganggu.”
Kembali kulanjutkan perjalanan. Menyusuri jalan tanpa arah dan tujuan. Bahkan aku lupa bahwa tujuanku bukan hanya untuk mencari pemilik cincin ini tapi juga mencari barang-barang bekas untuk menukarkannya dengan lembaran uang yang tidak seberapa.
Tak kuhiraukan lagi peluhku yang meleleh membasahi tubuh ringkihku. Aku terus berjalan dan berjalan. Hingga pada akhirnya aku berhenti di sebuah rumah yang megah. Pekarangan yang luas. Penuh tanaman-tanaman yang mahal. Belum lama aku istirahat di sana, pagar rumah itu terbuka. Sebuah mobil mewah keluar dari rumah itu. Mataku tertuju pada seorang perempuan yang ada di dalam mobil. Aku merasa perempuan itu tak asing. Seolah pernah melihatnya. Bahkan sering. Tiba-tiba ingatanku kembali pada perempuan pemilik cincin ini. Ya, itu dia perempuan yang kucari. Pemilik cincin ini. Aku berusaha memanggilnya. Berteriak sekeras mungkin. Tapi, kecepatan mobilnya membuat suaraku tak ubahnya bisikan semut. Sama sekali tak bisa didengarnya.
Aku berusaha mengejarnya, tapi sia-sia. Ia tak terlihat lagi. Hilang ditelan tikungan yang tajam. Aku mencoba kembali ke rumah itu. Kupanggil dengan suara keras. Berharap ada orang di dalam. Mungkin suaminya, anak-anaknya, atau pembantunya. Siapapun itu, aku hanya ingin memastikan apa yang kulihat adalah pemilik cincin ini. Lalu mengembalikan pada pemiliknya. Walaupun harus dengan perantara orang-orang yang mengenalnya.
Berkali-kali aku memanggil. Namun tak ada satu pun yang keluar. “Mungkin ia hanya tinggal sendiri di rumah ini. Nanti malam saja aku kembali ke sini lagi,” gumamku.
***
“Cincin ini belum bisa Arbi kembalikan Bu. Tapi Arbi sudah tahu rumah pemiliknya. Pemiliknya orang kaya. Rumahnya saja seperti istana. Semoga saja setelah Arbi kembalikan cincin ini, ia mau mengajak kita tinggal di rumahnya,” kataku pada Ibu yang tak kuasa menahan batuk.
“Husst… kamu ini. Kalau melakukan kebaikan itu jangan mengharapkan balasan. Itu namanya tidak ikhlas. Kalau kita ikhlas Allah akan membalasnya berlipat ganda.”
“Arbi hanya bercanda Bu. Ya sudah, Arbi siap-siap dulu. Sebentar lagi Arbi akan ke rumah pemilik cincin ini.”
***
Malam kembali datang. Ia datang membawa kesejukan yang dihembuskan angin. Aku telah siap untuk mendatangi rumah pemilik cincin ini. Malam ini aku sengaja tidak “bekerja”. Sebab mengembalikan cincin ini jauh lebih penting daripada sesuap nasi. Kira-kira begitulah pesan Ibuku.
Tepat di depan rumah mewah itu, aku berdiri. Kukumpulkan semua keberanian. Niatku baik, bahkan sangat baik. Tapi rasa takutku lebih seperti orang yang ingin maling ayam. Entah kenapa bisa begini. Belum lama aku berdiri, bahkan belum sempat memanggil, perempuan itu keluar dari rumah. Ia menyapaku ramah. Tanpa basa-basi, kujelaskan maksud kedatanganku. Tampak jelas kegembiraan terpancar dari wajahnya. Apalagi saat ia melihat cincinnya yang hilang itu. Tak lama kemudian, seorang laki-laki yang tak asing bagiku keluar dari dalam rumah. Ia menatapku tajam. Aku terbelalak, saat melihat jelas wajahnya. Ia adalah laki-laki yang meninggalkan aku dan Ibuku membusuk di kandang itu. Ia Ayahku. Tak mungkin. Ini tak mungkin. Aku berusaha tenang. Tapi ia seolah tak mengenalku. Mungkin ia malu, atau memang sudah lupa. Tanpa pikir panjang lagi, aku segera berlari, meninggalkan rumah itu. Bahkan perempuan itu belum sempat mengucapkan terima kasih.
Apa yang aku saksikan itu, membuat semangat hidupku patah. Apa yang aku lihat, tak ingin kuceritakan pada Ibuku. Aku tak ingin ia lebih menderita lagi. Jika tahu laki-laki yang masih ada ikatan perkawinan dengannya itu kini telah hidup penuh kemewahan. Entah bagaimana ia bisa menjadi kaya. Tapi yang jelas, rahasia ini akan kusimpan. Kututup rapat-rapat dalam bingkai kekecewaan. Namun, ini tak akan membuat keinginanku layu. Ya, keinginan untuk membahagiakan Ibuku. Aku yakin suatu saat nanti, tanpa Ayah, aku bisa membahagiakan Ibuku. Itu janjiku.
***
Nama penulis adalah Samsul, mahasiswa jurusan bahasa Indonesia, Universitas Islam Riau. Masih tertatah menapaki bukit aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar