Selasa, 19 Maret 2013

Cerpen abg q :)

CERPENKU; MENEBUS IMPIAN YG TRBIT DI RIAU POS, 12 AGUSTUS 2012

oleh Samsul Poenya (Catatan) pada 22 Desember 2011 pukul 10:28
MENEBUS IMPIAN


Mimpi adalah sebuah kekuatan.
Mimpi adalah tumpukan harapan.
Mimpi adalah lapisan kenyataan.
Bermimpilah!
Bawa ia ke duniamu dengan ikhtiar.

Rinai-rinai hujan menyentuh permukaan tanah yang retak oleh jilatan mentari. Lebih dari tiga bulan hujan sembunyi. Wujudnya tak pernah ditampakkan. Seakan ia lenyap ditelan bumi. Mendung yang menjadi sahabat karibnya, juga tak pernah muncul. Siang, malam, selalu ditemani hawa panas yang merebak. Tapi kini, dua sahabat itu kembali. Bak pulang dari rantau.
Di tengah cucuran hujan yang deras, aku harus menyelesaikan tugas yang baru kumulai. Rasa dingin yang menusuk perlahan membelit otot-ototku. Kaku. Tanganku bergeming. Bibirku bergerak-gerak tak keruan. Gemeretak gigiku terdengar keras. Mirip bunyi mesin penggiling padi yang sudah uzur. Tangkai dodos yang tadinya ditanganku terlepas. Tak mampu lagi tanganku memegang benda yang selalu bermusuhan dengan kelapa sawit itu.
Inginku menyelesaikan pekerjaan yang telah dua tahun kugeluti ini, dan kembali ke rumah. Merebahkan ragaku yang telah kuyu. Tapi tanganku seakan merajuk. Seperti seorang anak yang tak diajak Ayahnya berlibur ke Bali. Tanganku enggan berdamai dengan dodos. Bahkan ia tak mau menyentuh tangkai dodos itu. Aku tak bisa memaksa. Lagi pula, tenagaku telah disedot oleh hembusan angin yang begitu dingin. Semangatku mengkerut. Akhirnya, kuputuskan untuk pulang ke rumah. Istirahat.
Aku tergontai mengayuh sepeda. Meninggalkan kebun sawit yang menjadi tempatku menyambung nafas. Di perjalanan, dadaku seakan ditumbuhi ilalang. Sesak. Mataku sayu. Jalan yang lebar seakan sempit. Aku berhenti di tengah hujan. Tak mampu melanjutkan perjalanan. Dari kejauhan terlihat cahaya. Perlahan cahaya itu mendekat. Tak lama, suara klokson mobil terdengar dari balik cahaya itu. Mobil itu berhenti di sampingku. Seakan mobil itu ingin mengatakan pada sepeda bututku : hey sepeda reot. Ayo kita adu kecepatan!
“Sedang apa kau di tengah hujan ini, Man?” sapa lelaki yang berada di dalam mobil.
“Pak Ibas? Tidak ada Pak. Tadi dada saya sakit, jadi saya istirahat sebentar.”
“O, ya. Sawitnya sudah kau panen semua?”
“Be… belum Pak. Saya mohon izin istirahat dulu Pak. Besok pasti saya lanjutkan.”
“Besok katamu? Kau pikir itu sawit nenek moyangmu. Pokoknya sekarang kau kembali ke sana. Dan selesaikan pekerjaanmu, atau kau mau tiga bulan tidak digaji?” bentak induk semangku itu.
“Ba… baik Pak.”
Aku memutar arah sepedaku. Rencanaku untuk istirahat di rumah, kini telah hancur. Bagaikan kepingan meteor yang menabrak atmosfer. Sakit di dadaku berbaur dengan bentakan dari induk semangku tadi. Semuanya menyatu. Seakan ingin merobek jantungku. Sakit sekali.
Dua tahun sudah aku bekerja pada induk semangku itu, sebagai tukang panen kelapa sawit. Tak terhitung caci-maki yang telah dilontarkannya untukku. Ia sangat angkuh. Lebih angkuh dari ajudan kompeni. Tapi, dialah satu-satunya orang yang mau menerimaku bekerja di kampung ini. Bisa dibilang, orang-orang di kampungku tak banyak yang percaya denganku. Karena aku adalah mantan napi.
Dulu, ketika umurku masih tujuh belas tahun, aku mendapat kepercayaan besar dari warga kampung. Mereka memintaku sebagai penjaga masjid. Itu dikarenakan, aku yang tidak pernah alpa ke masjid, dibandingkan dengan kebanyakan orang di kampungku. Bahkan mereka yang mengklaim dirinya ustaz, lebih sering shalat di rumah ketimbang di masjid. Namun, kepercayaan yang diberikan warga kepadaku hancur ; bagaikan kota Nagasaki dan Hirosima yang luluh lantah akibat bom atom. Aku menggelapkan uang kas masjid. Itu kulakukan bukan semata-mata ingin mencuri. Tapi aku punya alasan yang kuat. Ibuku sakit keras, dan aku harus membawanya ke rumah sakit. Aku tidak punya biaya sepeser pun. Hingga aku menggunakan uang kas itu untuk mengobati Ibuku. Tapi, alasan itu tak mempan di depan hukum dan di depan orang-orang kampungku. Menurut mereka, maling tetaplah maling. Berbeda dengan koruptor, yang dianggap pahlawan karena membuka aib sesamanya.
***
Aku sampai di kebun sawit dengan rasa letih yang telah pasang. Namun, aku harus menyelesaikan tugasku. Kalau tidak, tamatlah riwayat pekerjaanku. Inilah pekerjaan yang bisa kulakukan. Tak ada pilihan lain, jika aku masih mau makan. Mungkin ini adalah hukuman untukku, karena telah membuat Ibuku meninggal ; setelah tahu kalau aku mengobatinya dengan uang hasil curian. Aku menyesal. Sangat menyesal.
Satu per satu buah kelapa sawit yang kupanen berguguran. mataku sembab. Aku menangis. Meratapi impianku. Impian yang selalu kupelihara dibenakku. Tapi, nampaknya impian itu kini tak lebih dari sekedar angan-angan kosong. Aku tak mungkin mewujudkannya. Mimpiku yang ingin selalu membawa pena kemana pun aku pergi, kini seakan pupus ditelan nasibku. Pena yang menjadi lambang seorang penulis. Tampaknya, kini tak lebih dari omong kosong. Buktinya, sekarang kemana pun aku pergi, bukan pena yang kubawa, melainkan alat untuk memanen kelapa sawit ini.
Aku tak sanggup lagi menahan gundukan keletihan ini. Pundakku seakan tengah memikul puluhan ton kelapa sawit. Remuk. Hujan masih belum berhenti. Tiba-tiba penglihatanku buram. Kepalaku seolah-olah dimasukkan ke dalam mesin cuci. Berputar-putar. Seketika itu juga, aku terkapar di atas buah kelapa sawit yang ranum. Pingsan.
***
Malam mulai merebahkan wujudnya yang pekat. Ia membalut senja yang keemasan. Perlahan cahaya matahari yang memudar, berganti dengan lapisan kelam. Derap-derap langkah terdengar pelan di telingaku. Aku mengucek-ngucek mata. Rasa letih itu masih membalut otot-ototku. Tapi, suasana yang kurasakan sekarang berbeda. Ini bukan kebun sawit. Mana ada plafon di tengah kebun begini, gumamku dalam hati.
“Kamu sudah bangun , Man?”
Suara itu membuyarkan pikiranku yang masih ling-lung. Aku terperanjak ketika melihat sosok lelaki yang menyapaku. Lelaki ini tak asing lagi bagiku. Tapi kenapa ia bisa ada di sini. Bukankah dia tinggal di Pekanbaru, sejak orang tuanya pindah tugas dua belas tahun yang lalu. Sejak itu, ia tak pernah lagi menginjakkan kakinya di kampung ini. Lalu kenapa tiba-tiba dia ada di sini.
“Kamu masih lemah, Man. Lebih baik istirahat saja dulu!”
“Fahmi? Ini benar kamu? Kenapa kamu bisa ada di sini? Seingatku tadi, aku sedang berada di kebun sawit. Kamu yang ….”
Belum sempat aku melemparnya dengan pertanyaan yang penuh rasa heran, ia memotong pertanyaanku dengan jawaban yang seolah telah disiapkannya sejak ia membawaku ke tempat yang masih aneh di mataku ini.
“Iya, Man. Aku yang membawamu ke sini. Kamu sekarang di Pekanbaru. Di rumah sakit. Aku sudah dua hari di kampungmu. Tujuanku untuk membeli kebun sawit. Ketika pulang ke Pekanbaru, aku melihat sekerumunan orang di sebuah kebun sawit. Aku berhenti, dan melihatmu tengah pingsan. Orang-orang itu menceritakan tentangmu, juga keluargamu, dan, aku putuskan untuk membawamu ke Pekanbaru. Sudah sembilan jam kamu pingsan.”
“Nanti, setelah kamu baikan, kita pulang ke rumahku. Kamu tinggal di sana. Dan mulai sekarang lupakan pekerjaanmu,” sambungnya.
Aku masih belum mengerti apa yang tengah kuhadapi. Teman lamaku ini muncul ketika aku membutuhkan tempat untuk membagi kegetiran hidupku. Aku tak bisa berkata-kata. Hanya sorot mataku yang mampu menjawab ajakan teman lamaku itu.
***
Hari ini, tak ada lagi kelapa sawit. Dodos. Dan sepeda yang hampir sepuluh tahun menemani hari-hariku. Semuanya bermetafosis. Mungkin di sini aku akan menebus impian yang telah diculik oleh suramnya masa laluku. Aku akan merangkul impian itu, dan membawanya ke duniaku. Di sini.
“Aku masih ingat dengan cita-citamu dua belas tahun yang lalu, Man. Ini kubawakan seperangkat alat tulis dan laptop untukmu. Gunakanlah untuk mewujudkan impianmu, Man.”
Lagi-lagi Fahmi membuyarkan lamunanku.
“Wah, terima kasih kawan. Terima kasih.”
Bukan main senangnya perasaanku menerima barang-barang ajaib itu. Aku melompat. Bersorak. Seperti Macaca fascicularis yang baru saja mendapatkan setandan Musa acuminata. Tak sabar lagi aku ingin segera menulis. Sudah lama aku tidak menulis. Seingatku, terakhir kali aku menulis ketika membuat artikel dan mengikutkannya pada sebuah lomba tingkat SMA se-Riau, dan aku juara satu.
Kuhabiskan hari-hariku di kamar. Membuat beberapa tulisan dengan alat-alat yang diberikan Fahmi kemarin. Walaupun aku sudah lama tidak menulis, tapi tidak ada hambatan yang kuhadapi. EYD, tata bahasa, pembentukan istilah, semuanya masih terekam dibenakku. Begitu juga dengan ide-ide tulisanku. Tak ada yang buntu. Tak sabar, aku ingin mengirimkan tulisanku pada salah satu media cetak di Pekanbaru ini. Siapa tau, mereka mau memuatnya, gumamku.
Hari ini adalah penentuan nasib tulisanku. Karena aku akan mengirimkannya pada media cetak. Pukul 08.00 Wib, aku bergegas mendatangi salah satu kantor media. Kusiapkan tulisan opini terbaikku. Persyaratan untuk sebuah opini sudah lengkap. Mulai dari aktualitasnya, keunikannya, fakta-faktanya, hingga argumen ilmiahnya. Setibanya di sana, aku langsung menuju ruang redaksi.
“Permisi Pak. Saya mau menyerahkan tulisan.”
“Ya.”
Lelaki paruh baya itu dingin menanggapiku. Sama sekali tak bersahabat.
“Maaf Pak. Ini opini saya.”
“Pendidikan Anda apa?”
“Saya tamatan SMA Pak. Enam tahun yang lalu.”
“Maaf, media kami tidak menerima tulisan anak ingusan yang masih cetek wawasannya. Silakan Anda bawa pulang tulisannya!”
Darahku seakan membeku. Harapanku kini telah dicabik-cabik. Badanku panas dingin. Dadaku tercekat. Mirip seekor Tribolium castaneum yang diinjak oleh kaki manusia. Ketika mendengar penolakan yang penuh dengan cacian. Aku pulang dengan membawa gundukan kesedihan yang bernaung di hatiku. Lesu.
***
Tiga minggu sudah penolakan itu berlalu. Aku semakin rajin membuat tulisan. Tak sengaja, aku melihat pengumuman lomba menulis artikel di koran. Lomba itu tingkat umum. Tanpa membuang waktu, siangnya aku mengantarkan tulisanku ke media yang mengadakan lomba itu. Sungguh, aku tak menghiraukan hadiahnya. Bagiku, hadiah bukan tujuanku. Aku cuma ingin dikenal lewat tulisanku. Itu saja.
Hari berikutnya, ketika pemenang lomba itu diumumkan, aku segera membeli koran. Takut habis. Perlahan koran itu kubaca, dan namaku bertengger di peringkat pertama. Aku bersorak-sorak. Seperti seorang arkeolog yang baru saja menemukan fosil langka Thalattosaur ; makhluk laut dengan ekor panjang dan memenuhi air dangkal dan hangat pada zaman awal dinosaurus dan menghilang pada akhir periode triassic sekitar 200 juta tahun lalu.
Besoknya, aku segera ke ruang redaksi untuk mengambil hadiahnya. Setibanya di sana, aku disambut langsung dengan hangat oleh pemimpin redaksinya. Dadaku kembali bertalu-talu. Hebat. Pemrednya memintaku untuk menulis di medianya. Ia meminta tulisanku dikirim tiga kali seminggu. Luar biasa. Ini di luar dugaanku. Sama sekali ia tak menghiraukan pendidikanku.
Mimpi yang dulu kupelihara, kini menunjukkan kejinakannya. Ia benar-benar datang dalam duniaku. Impian itu telah menjadi bagian dari kenyataan hidupku. Aku telah menebusnya dari suramnya masa lalu yang menculik impianku itu. Impian itu bisa menjadi nyata, jika kita menempatkannya pada sisi yang bersebelahan dengan ikhtiar. Bermimpilah! Rangkul ia dalam duniamu. Segera!
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar